Minggu, 16 Februari 2014

INTERVENSI ABRI MASA ORDE BARU Dan PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM POLITIK ORDE BARU (Sebuah Tulisan Sebagai Wujud Pembelajaran Dari Sejarah)

Sejarah ABRI masuk dalam Politik Orde Baru
1.      Jalan Tengah AH Nasution
ABRI masuk dalam kehidupan politik berawal dari kebutuhan Soekarno akan dukungan politik dalam usahanya mencapai dominasi politik di Indonesia. Keinginan tersebut sejalan dengan keinginan pimpinan ABRI untuk berperan lebih besar dalam kehidupan politik Indonesia.[1] Hal ini dikarenakan ketidakstabilan politik selama dasawarsa 1950an, memanasya hubungan Indonesia Belanda akan masalah Irian Barat, keterpurukan ekonomi dimana inflasi sangat tinggi, membuat ABRI tergerak untuk berperan lebih besar dalam kehidupan social politik. Dengan kesesuaian antara keinginan Soekarno dan pimpinan ABRI, maka ABRI menjadi salah satu kekuatan politik utama masa Soekarno, selain PKI. Dimana pada thn 1957, ABRI dilibatkan dalam Dewan Nasional oleh Soekarno, sebuah dewan penasihat presiden. Hal ini menjai titik awal dan kesempatan ABRI untuk berperan besar dalam dunia sosial politik Indonesia.
Untuk memperkuat peran ABRI dalam kehidupan sosial politik Indonesia, jenderal A.H Nasution melahirkan ide “Jalan Tengah”  pada Dies Natalis AMN (Akademi ABRI Naional) November 1958. Konsepsi ini, pada dasarnya menyatakan bahwa keterlibatan ABRI dalam pembinaan Negara bukanlah untuk mendominasi dan memonopoli kekuasaan, karena hal tersebut bertentangan dengan Saptamarga, tetapi menyangkut keamanan ataupun bidang-bidang lain. Lebih lanjut Nasution mengatakan bahwa ABRI :
…..bukan sekadar “alat sipil” seperti di Negara-negara barat, juga bukan sebuah rejim yang mendominasi kekuasaan Negara, melainkan merupakan salah satu dari kebanyakan kekuatan dalam masyarakat, kekuatan demi perjuangan rakyat yang bekerja bahu-membahu dengan kekuatan-kekuatan lain yang dimiliki rakyat.[2]
Konsepsi ini, dicetuskan Nasution agar ABRI Indonesia yang berasal dari kekuatan-kekuatan rakyat, tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang ggal membawa masyarakat menuju suatu kesejahteraan dan stabilitas. Karena jika sekali terjadi kudeta, maka suksesi kekuasaan akan berlanjut dengan kudeta-kudeta yang selainnya.
2.      Munculnya AD sebagai kekuatan politik riil terkuat
Sejak dicetuskannya ide Jalan Tengah dari Nasution, ABRI mulai mengatur rencana untuk bisa masuk dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Momentum untuk masuknya ABRI, berawal dari keberhasilan ABRI menumpas rencana kudeta PKI. Bahkan PKI dapat ditumpas oleh ABRI sampai keakar-akarnya. Hal ini mengakibatkan hancurnya kekuatan politik PKI di Indonesia, yang telah dibangun sejak zaman sebelum kemerdekaan. Di tahun 1965, sejak runtuhnya PKI dan merosotnya kewibawaan Soekarno akibat kehancuran ekonomi Indonesia, ditandai dengan lengsernya Soekarno. Membuat ABRI, muncul sebagai pemegang kekuatan politik riil terkuat saat itu. Sehingga sejak Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad dan pemimpin operasi penumpasan PKI menggantikan Soekarno sebagai Presiden, maka ABRI mulai memperoleh pencerahan dan jalan lebar untuk terlibat secara aktif dalam sosial politik Indonesia.
Untuk memperkuat kekuatan politiknya, ABRI menerapkan beberapa strategi. Pertama, melakukan pelembagaan dwi fungsi ABRI yang berasal dari ide Jalan Tengah Nasution. Mulai dipertegas di doktrin AD dalam “Tri Udaya Cakti” thn 1965, dipertegas lagi dengan doktrin “Catur Dharma Eka Karma” thn 1967.[3] Bahkan untuk memperkuat landasan dwifungsi ABRI, dikeluarkanlah UU/1982 No.20 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Dimana pada pasal-pasalnya, disebutkan bahwa “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial”. Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi ABRI, melalui reorganisasi di lingkup seluruh matra : AD, AL, AU, dan Kepolisian. Dimana semuanya menjadi di bawah kendali Pengab, sebagai pemegang kekuasaan tunggal atas operasi dan administrasi ABRI. Kekuatan panglima pada tiap matra menjadi berkurang tanpa memiliki wewenang operasional, yang hanya berstatus “Kepala Staf Angkatan”.[4] Dengan adanya langkah-langkah strategis dari ABRI tersebut, maka dominasi ABRI dalam dunia sosial politik Indonesia menjadi lebih dominan, bahkan menghegemoni.

    II.          Persebaran Kekuatan / Intervensi ABRI dalam Sistem Politik Orde Baru
Kekuatan politik ABRI dalam kehidupan sosial politik Indonesia tidak bisa dikatakan hanya “intervensi”. Karena dengan melihat persebaran kekuatan dan intervensinya dalam sistem politik Indonesia, mulai terhadap lembaga eksekutif, terhadap lembaga legislatif, terhadap masyarakat sipil (orsospol, ormas dan budaya), maka ABRI bisa dikatakan menghegemoni kekuatan atau sistem politik Indonesia. Untuk melihat persebaran kekuatan atau intervensi ABRI di Indonesia, akan diuraikan di bawah ini :
1.      ABRI terhadap lembaga Eksekutif
Ø  Dalam susunan kabinet Pembangunan
Jumlah anggota ABRI yang masuk dalam kabinet pembangunan relatif besar. Selain kuantitas, secara kualitas, anggota ABRI juga menempati posisi strategis dalam kabinet pembangunan. Bahkan di tahun 1981, 10 orang menjadi menteri koordinator, 8 orang menjabat menteri mengepalai departemen, dan 2 orang menjabat sebagai menteri Muda.[5]
Jumlah Personal Militer dalam Kabinet Awal Orba[6]
KABINET
JUMLAH DEPARTEMEN
% MILITER
JUMLAH NOMINAL
Ampera dan Eselon I
20
46,40
52
Pembangunan I dan Eselon I
18
39,17
41
Pembangunan II dan Eselon II
17
39,65
46
Pembangunan III dan Eselon
17
44,99
55
Keterangan: Dalam bagian ini, Departemen Pertahanan dan Keamanan tidak diikutsertakan Sumber            :Dharmawan Ronodipuro, 1986, 4-6
Jumlah Personal TNI dalam Kabinet Pembangunan[7]
KABINET
UNSUR MILITER
% MILITER
JUMLAH NOMINAL
Pembangunan I
8
34
23
Pembangunan II
6
24
25
Pembangunan III
15
45
33
Pembangunan IV
17
42
40
Pembangunan V
14
34
41
Pembangunan VI
10
24
42
Sumber: Mulyana W. Kusumah, Kompas, 4 Mei 1995; 4
Ø  Birokrasi
Begitu pula dominasinya dalam birokrasi relatif besar, ABRI menguasai kepala daerah, mulai tingkat I (Gubernur) sampai tingkat II (Walikota atau Bupati), menempatkan anggotanya menjadi duta besar, menjabat pejabat2 tinggi dalam birokrasi sampai tingkat bawah. Penempatan ABRI di daerah-daerah tidak hanya didaerah rawan, tetapi juga di daerah-daerah yang relatif stabil. Di Jawa Tengah, Lampung, KalBar, SulUt yang daerahnya relatif stabil gubernurnya justru berasal dari ABRI. Sedangkan di daerah rawan seperti Aceh, Timor-Timor dan Irian Jaya, Gubernurnya justru dipegang oleh sipil.[8]  Tetapi untuk daerah rawn tersebut, kepala daerah tingkat II tetap diisi oleh ABRI, sehingga secara politik terkesan bahwa sipil yang memegang daerah tersebut, padahal secara riil di bawah ABRI tetap menghegemoni. Untuk lebih jelasnya penguasaan ABRI terhadap birokrasi mulai pusat sampai daerah, kita bisa melihat tabel di bawah ini :
Tabel    Jumlah Anggota TNI dan Polisi di Luar Bidang Hankam[9]
No
Jabatan/Penggolongan
    1977/Mei
1980/November

1
2
3
4
5
6
Pusat Pemerintahan
Menteri/Pimpinan lembaga tinggi
Sekretaris Jenderal
Inspektur Jenderal
Direktur Jenderal
Kepala lembaga non-departemen
Sekr./Asisten Menteri (setingkat)


17 (42,5%)
14 (73,6%)
18 (29,5%)
15 (78,9%)
8 (44,4%)
21 (84%)

19 (47,5%)
14 (73,6%)
18 (29,5%)
15 (78,9%)
8 (44,4%)
21 (84,0%)


Jumlah
76 (53,5%)
76 (53,5%)

7
8
9
Kepala Daerah
Gubernur
Bupati
Walikota


19 (70,3%)
136 (56,4%)
19 (31,6%)

19 (70,3%)
137 (56,6%)
20 (33,3%)

10
11
12
Luar Negeri
Duta Besar
Kuasa Usaha
Konsul Jenderal


24 (41,0%)
1 (50,0%)
4 (25,0%)

28 (44,4%)
1 (50,0%)
4 (25,0%)


Jumlah
31 (31,9%)
35 (34,3%)

1
2
3
4
Sumber
Angkatan Darat
Angkatan Laut
Angkatan Udara
Kepolisian


17.004
926
698
2.490

12.873
823
777
2.357
Sumber data: Nugroho Notosusanto, 1984, 378-9
Penguasaan ABRI mulai pusat sampai daerah dalam birokrasi masa orde baru, membuatnya menjadi pengendali kebijakan pembangunan Indonesia dan pengkontrol efektif stabilitas politik di daerah. Hal ini menjadikan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah menjadi seperti harus melalui jalur komando dari atas sampai bawah.

2.      ABRI terhadap lembaga Legislatif
Ø  Mekanisme masuknya ABRI dlm legislatif
ABRI tidak hanya memasuki dan menguasai di lembaga eksekutif, untuk mengendalikan agar kebijakan berdasarkan kontitusi, maka ABRI juga melakukan penguasaan terhadap lembaga legislatif, yaitu DPR dan MPR. Untuk masuk dalam lingkungan legislatif, ABRI tidak perlu susah-susah untuk ikut dalam Pemilu, karena ia memanfaatkan pasal 2 UUD 1945 akan utusan daerah sebagai salah satu anggota legislatif. Sehingga tidak ada kompetisi yang fair untuk menjai wakil rakyat di parlemen (ABRI dengan tanpa hambatan bisa masuk ke parlemen).
Sebenarnya kalau kita lihat dari kelayakannya, apakah ABRI layak disebut sebagai utusan daerah? ABRI sebagai perwujudan dari kekuasan pemerintahan/negara, menjadi golongan yang layak disebut badan kolektif (utusan daerah yang dimaksud dalm UUD 1945 adalah serikat buruh, koperasi dan badan kolektif lainnnya).
Ø  Komposisi ABRI dlm legislatif
Tabel VII.1 Jumlah Anggota FTNI/PoIri dl DPR/MPR, 1971-1999
Pemilu
Jumlah
Aggota DPR
Jumlah
Anggota DPR
Dari TNI/Polri
AnggotaMPR
Dari TNI/PoIri
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
460
460
460
500
500
500
500
920
920
920
1000
1000
1000
700
75(16)
75(16)
75(16)
100(20)
100(20)
75(15)
38(7)
155(16)
155(16)
155(16)
151 (15)
150(15)
113(11)
3815)
Sumber: Hari'an Kompas, 13 Agusrus 2000. hal. 3.
ABRI dalam legislatif tidak hanya menjadi anggota saja, melainkan menguasai ketua DPRD di daerah2.  Seperti di Timor2, dari 13 ketua DPRD II 7 diantaranya dijabat oleh ABRI, di Lampung, 2 dari 3 ketua DPRD II dijabat ABRI, untuk Bali masih seimbang, 3 ABRI 3 sipil. Banyaknya anggota ABRI yang menjabat ketua DPRD, mengakibatkan masyarakat takut untuk datang ke DPRD, karena penggunaan konsep stabilitas pada mekanisme kerjanya. Dan konsep rantai komandonya, mengakibatkan kepentingan korps akan lebih dipentingkan dari pada kepentingan masyarakat.

3.      ABRI terhadap Masyarakat Sipil
a.      Orsospol dan Ormas
Ø  Orsospol
o   Keterlibatan dalam GOLKAR
ABRI juga melakukan intervensi terhadap kekuatan masyarakat sipil, salah satunya adalah dengan membentuk Sekber Golkar. Dengan membidani pembentukan sekber Golkar, membuat ABRI menjadi lebih terbuka untuk masuk dalam dunia sosial politik. Golkar saat itu bukanlah sebagai partai politik, melainkan sebagai ormas. Tetapi sekber Golkar sebagai ormas dapat ikut pemilu melawan partai politik. Pembentukan Golkar, merupakan efek dari ketidakpercayaan orde baru terhadap partai politik. Karena di masa Soekarno, terjadi instabilitas politik yang parah, bahkan membuat kondisi ekonomi menjadi hancur, inflasi sampai 600%. Dimana kondisi tersebut, dianggap sebagai ketidakmampuan partai politik dalam memegang pemerintahan. Karena itulah dibentuklah Golkar sebagai wadah ABRI untuk dapat berjuang di perpolitikan.
Sekber Golkar dibentuk oleh ABRI untuk mengimbangi kekuatan-keuatan komunis dan organisasi yang berafiliasi di bawahnya. Karena itu, Sekber Golakr merupakan gabungan dari ormas-ormas bentukan ABRI, seperti MKGR, Soksi, Kosgoro dengan organisasi lain, seperti 53 organisasi serikat buruh yang disponsori militer dan pegawai negeri, 10 organisasi profesi, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, ABRI sendiri (AD, AL, AU dan Polri), 5 oranisasi wanita, 4 organisasi media massa, 2 organisasi petani dan nelayan serta 9 organisasi lainnya. Kesemuanya itu bergabung dalam Sekber Golkar dalam naungan ABRI di dalamnya.[10]
Pada tahun 1966, karena dianggap terlalu gemuk secara keorganisasiannya, dilakukan reorganisasi terhadap Sekber Golkar. Dalam reorganisasi tersebut, Sekber Golkar akan menjai sebuah badan federasi yang dikelompokkan dalam 9 kino (kelompok induk organisasi). pada saat itu pula, Sekber Golkar diubah menjadi fungsinya dari sekedar ormas menjadi Orsospol baru.[11] Dimana dari kepengurusan sekber yang baru, kesemuanya diduduki oleh ABRI kecuali satu, yaitu Drs.Sumiskun sebagai ketua salah satu kino Gerakan Pembangunan. Hal ini menujukkan bagaimana dominasi ABRI dalam tubuh Golkar sendiri.

o   Intervensi terhadap orsospol lawan
ABRI dalam intervensinya terhadap orsospol lawan, cara yang digunakan adalah pertama, yaitu dengan menggunakan strategi ikut dalam penentuan kepengurusan orsospol, memasukkan orang parpol yang berpihak pada ABRI untuk menjadi ketua dan pengurus penting partai. Misalnya pada tahun 1970, ABRI merencanakan pergantian ketua PNI Osa Maliki yang meninggal dengan Hadisubeno sebagai pendukung ABRI, padahal massa PNI di Jawa lebih mendukung Hardi. Hal ini juga dilakukan ketika pemilihan ketua Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada 1968. Bahkan di tahun 1996, ABRI memanfaatkan konflik internal PDI dengan merencanakan dan memprakarsai Kongres Medan untuk menjatuhkan Megawati sebagai ketua umum. Seluruh ketua DPD dan DPC PDI di berbagai daerah di panggil oleh komandan kodim dan komandan korem. Mereka di briefing agar sepakat dan mendukung kongres medan yang bertujuan untuk menjatuhkan Megaawati dengan memberikan fasilitas transport dan membiayai seluruh akomodasinya.[12]
Kedua, dengan pemberlakuan floating mass, yaitu dengan melarang partai politik membangun jaringan politik di tingkat bawah, atau masyarakat dilarang melakukan aktifitas politik selain saat pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali.[13] Oleh karena itu parpol dilarang memilii keterwakilan sampai tingkat desa atau kecamatan, hanya boleh sampai tingkat kabupaten. Sehingga mengakibatkan keterputusan komunikasi dengan massa akar rumput partai.
Selain itu, ABRI juga mengunakan cara intervensi kegiatan dengan tidak memberikan izin keamanan kepada partai politik lawan untuk melakukan konsolidasi. Seperti yang terjadi pada PPP di Aceh, PPP dipersulit mendapat ijin untuk melaksanakan seminar partai, disisi lain Golkar diberi kemudahan ijin untuk melakukan kegiatannya.
Ø  Ormas
Dalam Ormas ABRI lebih banyak menggunakan kekuatannya untuk memasukkan orang2nya dalam ormas-ormas yang ada atau dengan membentuk ormas sendiri. Untuk masalah kepemudaan, ABRI memiliki FKPPI, memiliki Dharma Pertiwi yang dikelola istri-istri anggota ABRI, serta organisasi yang dikelola purnawirawan. Bahkan di daerah rawan seperti Timor-Timor, terdapat ormas yang secara khusu dibentuk dan dibina oleh kopassus, yakni Gardha Paksi.[14]
b.      Social dan Budaya
Intervensi ABRI terhadap system politik Indonesia, termasuk dalam aspek budaya massyarakat Indonesia. Dalam hal ini akan dibahas mengenai aspek keagamaan, perizinan dan pers, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi budaya politik di Indonesia saat itu.
Ø  Keagamaan
Intervensi dalam bidang keagamaan salah satunya adalah dengan pengeluaran UU perkawinan oleh Ali Moertopo, yang dianggap melakukan upaya sekulerisasi terhadap umat Islam, dimana perkawinan dikatakan sah jika melalui catatan sipil.[15] Hal ini mendapatkan perlawanan keras dari umat Islam.
Dimana selanjutnya UU perkawinan tersebut diganti dengan UU yang baru pada tahun 1973 yang disahkan oleh Soetopo Joewono dan Bakin, dimana perkawinan sah jika dicatat dalam catatan sipil yang diperoleh di KUA dengan syarat-syarat Islami.
Selain masalah tersebut, anggota ABRI di daerah-daerah banyak masuk dalam lingkungan pondok pesantren dan menjadi Pembina bagi organisasi-organisasi Islam di daerah. Sehingga mereka dapat melakukan control terhadap kekuatan-kekuatan umat Islam di daerah dan akar rumput. 
Ø  Perizinan dan pers
Intervensi ABRI terhadap bidang perijinan dalam hal mengenai masalah izin penerbitan, merupakan imbas dari UU Darurat Perang tahun 1957 oleh Nasution. Dalam UU ini, pers dilarang menerbitkan hal-hal yang mengancam stabilitas nasional. Jika terdapat tulisan yang mengancam stabilitas nasional, maka wartawannya akan ditahan dan penerbitnya akan dibredel.Salah satu contoh kasusnya adalah penahanan terhadap Mochtar Loebis, salah satu wartawan senior masa itu.[16]
Perilaku ABRI dengan UU tersebut sebenarnya bisa dikatakan salah tempat, karena UU tersebut merupakan UU Darurat Perang, yang digunakan dalam konteks Negara dalam bahaya, bukan dalam keadaan Negara yang stabil atau tidak dalam kontes bahaya atau perang.  Bahkan pada tahun1966-1978, intervensi terhadap pers semakin kuat, pers dikontrol ketat. Koran-koran yang akan terbit harus mendapatkan ijin dari Kopkamtib saat itu. Jika melanggar, terdapat 2 tahapan penyikapan militer, pertama dengan pemberitahuan lewat telepon kalau berita “X” tidak boleh dimuat, kedua dengan melakukan pembredelan.
 III.            Pengaruhnya terhadap Sistem Politik Orde Baru
Dengan kondisi yang demikian hegemoniknya militer terhadap system politik Indonesia masa orde baru, baik di dalam lembaga legislative, lembaga eksekutif, maupun dalam orsospol/ormas dan social budaya masyarakat, sangat mempengaruhi dalam membentuk karakteristik system politik masa itu yang mengarah pada otoritarian. Bagaimana kebijakan dan aturan-aturan muncul sebagai output dari proses politik, bukan berasal dari kebutuhan rakyat. Rakyat diintervensi atau dikooptasi kekuatannya, agar tidak bisa macam-macam terhadap rencana rejim dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia. Bahkan secara proses dari kebijakan tersebut, mulai dari lembaga legislative dan eksekutif dihegemoni oleh kekuatan militer rejim. Berikut akan diuraikan mengenai system politik pada masa itu akibat dari intervensi militer di era orde baru, mulai bagaimana input akan suatu kebijakan berasal, bagaimana mekanisme atau proses pengeloplaan input sampai pengeluaran kebijakannya.
1.      Input
Input merupakan sumber-sumber dari kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Di masa orde baru, dimana masyarakat secara kekuatan politik di kerdilkan atau dikooptasi oleh rejim militer, membuat masyarakat tidak bisa menyalurkan aspirasinya. Bagaimana orsospol lawan dari rejim militer yang tidak boleh membangun kekuatannya di basis akar rumput, membuat aspirasi masyarakat tidak bisa tersalurkan dengan bebas. Bahkan di DPRD pun anggota dan ketua DPRD banyak beranggotakan dari militer, yang membuat suara rakyat sulit didengar, karena akan lebih mementingkan kepentingan korps. Dengan kondisi demikian, dalam social budaya secara kebebasan pers, juga ikut dibatas. Hal ini semakin membuat, masyarakat tidak bisa berkutik untuk menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah. Sehingga suara rakyat sebagai salah satu input kebijakan pemerintah, sulit untuk didengarkan, bahkan tidak bisa. Input kebijakan harus berasal dari 1 kehendak, yaitu pimpinan rejim miilter itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah Presiden Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI. 
2.      Proses
Dalam proses pembuatan kebijakanpun, militer lagi-lagi menghegemoni kekuatan di legislative dan eksekutif sebagai lembaga-lembaga politik pemroses suara rakyat atau pembuat kebijakan. Di orde baru, lembaga legislative dikuasai oleh rejim militer, dimana anggota parlemen terdiri dari militer dan wakil dari golkar (partai rejim saat itu). Sehingga aturan-aturan sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan, dapat dibuat sesuai kehendak pimpinan rejim militer. Kekuatan rakyat dalam parlemen tidak bisa berbuat apa-apa, karena intimidasi militer yang dilakukan diluar parlemen. Sehingga mereka tidak berani untuk bersuara, menuruti apa kata pimpinan rejim (apa kata “bapak”). Apalagi kekuatan pers, sebagai pengontrol dalam proses politik membuat kebijakan juga dilucuti kekuatannya.
Bagaimana dengan hegemoni militer ddalam legislative, diikuti juga di dalam lembaga eksekutif baik mulai tingkat pusat sampai daerah. Sehingga membuat satu kebijakan yang akan dikeluarkan tersentralkan atau berdasarkan perintah dari pusat (pimpinan rejim militer). Sehingga proses politik dalam membuat kebijakan berjalan satu arah, tidak ada system chek and balance.
Rakyat dengan intimidasi militer, dan pengkontrolan militer terhadap ormas-ormas dan lembaga keagamaan di daerah, membuat masyarakat sipil sebagai salah satu kekuatan demokrasi dalam proses politik menjadi mandul, tidak memiliki kekuatan sama sekali.  
3.      Output
Dari input politik yang tidak berasal dari rakyat, dan proses politik yang satu arah, tidak ada unsure chek and balance. Secara otomatis berakibat dari kebijakan-kebijakan yang ditimbulkan tidak bersal dari kehendak masyarakat, kebijakan berasal dari keinginan pimpinan rejim. Antara lain bisa kita lihat, bagaimana keijakan pengeluaran UU perkawinan diatas. Dimana pengeluaran UU tersebut oleh Ali Moertopo, hanyalah digunakan sebagai alat politik rejim untuk mengontrol umat Islam. Bahkan walaupun diganti dengan UU perkawinan yang baru, itupun hanya bertujuan untuk memperhalus cara rejim untuk mengkontrol kekuatan umat Islam. Dengan perkawinan umat Islam yang tercatat dalam catatan sipil, dapat berefek pada terpetakannya persebaran dan laju regenerasi kekuatan umat Islam. Juga kebijakan dalam pemilu, dalam pers, membuat rakyat tidak bisa bebas berpartisipasi dalam kegiatan politiknya.

 IV.            Kesimpulan
Sehingga dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya intervensi ABRI yang hegemonic dalam system politik masa orde baru, baik di legislative, eksekutif, dan dalam amsyarakat sipil seperti orsospol dan ormas, serta social budaya masyarakat. Mengakibatkan system politik masa orde baru memiliki karakteristik yang otoriter. Bagaimana militer mengebiri kekuatan rakyat untuk menyuarakan dan menuntut hak-haknya, membuat rakyat tidak bisa apa-apa, rakyat menjadi takut dan tidak berkembang secara pemikiran dan kedewasaan politiknya.
Daftar Pustaka
1.      Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998.
2.      A.H. Nasution, Kekaryaan ABRI, Jakarta : Seruling Masa, 1971.
3.      Yulianto Dwi Pratomo, “ABRI & Kekuasaan”, puncak-puncak krisis hubungan sipil-ABRI di Indonesia, Yogyakarta : NARASI, 2005. Hal 38-39.
4.      John A. MacDougall, “Patterns of Millitary Control in The Indonesian Higher Central Bureaurency”, dalam The Indonesia, no.33, Cornell University, 1982.
5.      Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
6.      Suryadinata Leo, GOLKAR DAN MILITER, studi tentang Budaya Politik, Jakarta :LP3ES, 1992. Hal 13-18
7.      DPP Golkar, Laporan Golkar 1973, op.cit, hal.87.
8.      Tim ISAI, Megawati : Pantang Surut Langkah, Jakarta : ISAI, 1996.
9.      Rais, Amien, “Golkar dan Demokratisasi di Indonesia”, Yogyakarta : PPSK dan Aditya Media, 1993.  
10.  Crouch Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
11.  Lubis Mochtar, Catatan Subversif, Jakarta : Sinar Harapan, 1980






[1] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 87-88
[2] A.H. Nasution, Kekaryaan ABRI, Jakarta : Seruling Masa, 1971.
[3] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 94
[4] Yulianto Dwi Pratomo, “ABRI & Kekuasaan”, puncak-puncak krisis hubungan sipil-ABRI di Indonesia, Yogyakarta : NARASI, 2005. Hal 38-39.
[5] John A. MacDougall, “Patterns of Millitary Control in The Indonesian Higher Central Bureaurency”, dalam The Indonesia, no.33, Cornell University, 1982.
[6] Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
[7] Ibid
[8] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 107
[9]  Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
[10] Suryadinata Leo, GOLKAR DAN MILITER, studi tentang Budaya Politik, Jakarta :LP3ES, 1992. Hal 13-18
[11] DPP Golkar, Laporan Golkar 1973, op.cit, hal.87.
[12] Tim ISAI, Megawati : Pantang Surut Langkah, Jakarta : ISAI, 1996.
[13] Rais, Amien, “Golkar dan Demokratisasi di Indonesia”, Yogyakarta : PPSK dan Aditya Media, 1993. Hal xiii
[14] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 118-119
[15] Crouch Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
[16] Lubis Mochtar, Catatan Subversif, Jakarta : Sinar Harapan, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar