Sejarah
ABRI masuk dalam Politik Orde Baru
1.
Jalan
Tengah AH Nasution
ABRI masuk dalam kehidupan politik
berawal dari kebutuhan Soekarno akan dukungan politik dalam usahanya mencapai dominasi
politik di Indonesia. Keinginan tersebut sejalan dengan keinginan pimpinan ABRI
untuk berperan lebih besar dalam kehidupan politik Indonesia.[1]
Hal ini dikarenakan ketidakstabilan politik selama dasawarsa 1950an, memanasya
hubungan Indonesia Belanda akan masalah Irian Barat, keterpurukan ekonomi
dimana inflasi sangat tinggi, membuat ABRI tergerak untuk berperan lebih besar
dalam kehidupan social politik. Dengan kesesuaian antara keinginan Soekarno dan
pimpinan ABRI, maka ABRI menjadi salah satu kekuatan politik utama masa
Soekarno, selain PKI. Dimana pada thn 1957, ABRI dilibatkan dalam Dewan
Nasional oleh Soekarno, sebuah dewan penasihat presiden. Hal ini menjai titik
awal dan kesempatan ABRI untuk berperan besar dalam dunia sosial politik
Indonesia.
Untuk memperkuat peran ABRI dalam
kehidupan sosial politik Indonesia, jenderal A.H Nasution melahirkan ide “Jalan
Tengah” pada Dies Natalis AMN (Akademi ABRI
Naional) November 1958. Konsepsi ini, pada dasarnya menyatakan bahwa
keterlibatan ABRI dalam pembinaan Negara bukanlah untuk mendominasi dan
memonopoli kekuasaan, karena hal tersebut bertentangan dengan Saptamarga,
tetapi menyangkut keamanan ataupun bidang-bidang lain. Lebih lanjut Nasution
mengatakan bahwa ABRI :
…..bukan sekadar “alat sipil” seperti di
Negara-negara barat, juga bukan sebuah rejim yang mendominasi kekuasaan Negara,
melainkan merupakan salah satu dari kebanyakan kekuatan dalam masyarakat,
kekuatan demi perjuangan rakyat yang bekerja bahu-membahu dengan
kekuatan-kekuatan lain yang dimiliki rakyat.[2]
Konsepsi ini, dicetuskan Nasution agar ABRI
Indonesia yang berasal dari kekuatan-kekuatan rakyat, tidak melakukan kudeta
terhadap pemerintahan sipil yang ggal membawa masyarakat menuju suatu
kesejahteraan dan stabilitas. Karena jika sekali terjadi kudeta, maka suksesi
kekuasaan akan berlanjut dengan kudeta-kudeta yang selainnya.
2.
Munculnya
AD sebagai kekuatan politik riil terkuat
Sejak dicetuskannya ide Jalan Tengah
dari Nasution, ABRI mulai mengatur rencana untuk bisa masuk dalam kehidupan
sosial politik Indonesia. Momentum untuk masuknya ABRI, berawal dari
keberhasilan ABRI menumpas rencana kudeta PKI. Bahkan PKI dapat ditumpas oleh ABRI
sampai keakar-akarnya. Hal ini mengakibatkan hancurnya kekuatan politik PKI di
Indonesia, yang telah dibangun sejak zaman sebelum kemerdekaan. Di tahun 1965,
sejak runtuhnya PKI dan merosotnya kewibawaan Soekarno akibat kehancuran
ekonomi Indonesia, ditandai dengan lengsernya Soekarno. Membuat ABRI, muncul
sebagai pemegang kekuatan politik riil terkuat saat itu. Sehingga sejak
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad dan pemimpin operasi
penumpasan PKI menggantikan Soekarno sebagai Presiden, maka ABRI mulai
memperoleh pencerahan dan jalan lebar untuk terlibat secara aktif dalam sosial
politik Indonesia.
Untuk memperkuat kekuatan politiknya, ABRI
menerapkan beberapa strategi. Pertama, melakukan pelembagaan dwi fungsi ABRI
yang berasal dari ide Jalan Tengah Nasution. Mulai dipertegas di doktrin AD
dalam “Tri Udaya Cakti” thn 1965, dipertegas lagi dengan doktrin “Catur Dharma
Eka Karma” thn 1967.[3]
Bahkan untuk memperkuat landasan dwifungsi ABRI, dikeluarkanlah UU/1982 No.20
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Dimana pada
pasal-pasalnya, disebutkan bahwa “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai
kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial”. Kedua, pengembangan
sebuah sistem kontrol internal atas institusi ABRI, melalui reorganisasi di
lingkup seluruh matra : AD, AL, AU, dan Kepolisian. Dimana semuanya menjadi di
bawah kendali Pengab, sebagai pemegang kekuasaan tunggal atas operasi dan
administrasi ABRI. Kekuatan panglima pada tiap matra menjadi berkurang tanpa
memiliki wewenang operasional, yang hanya berstatus “Kepala Staf Angkatan”.[4]
Dengan adanya langkah-langkah strategis dari ABRI tersebut, maka dominasi ABRI
dalam dunia sosial politik Indonesia menjadi lebih dominan, bahkan
menghegemoni.
II. Persebaran
Kekuatan / Intervensi ABRI dalam Sistem Politik Orde Baru
Kekuatan politik ABRI dalam kehidupan
sosial politik Indonesia tidak bisa dikatakan hanya “intervensi”. Karena dengan
melihat persebaran kekuatan dan intervensinya dalam sistem politik Indonesia,
mulai terhadap lembaga eksekutif, terhadap lembaga legislatif, terhadap
masyarakat sipil (orsospol, ormas dan budaya), maka ABRI bisa dikatakan
menghegemoni kekuatan atau sistem politik Indonesia. Untuk melihat persebaran
kekuatan atau intervensi ABRI di Indonesia, akan diuraikan di bawah ini :
1.
ABRI
terhadap lembaga Eksekutif
Ø Dalam
susunan kabinet Pembangunan
Jumlah
anggota ABRI yang masuk dalam kabinet pembangunan relatif besar. Selain
kuantitas, secara kualitas, anggota ABRI juga menempati posisi strategis dalam
kabinet pembangunan. Bahkan di tahun 1981, 10 orang menjadi menteri
koordinator, 8 orang menjabat menteri mengepalai departemen, dan 2 orang
menjabat sebagai menteri Muda.[5]
Jumlah Personal Militer
dalam Kabinet Awal Orba[6]
KABINET
|
JUMLAH
DEPARTEMEN
|
%
MILITER
|
JUMLAH
NOMINAL
|
Ampera
dan Eselon I
|
20
|
46,40
|
52
|
Pembangunan
I dan Eselon I
|
18
|
39,17
|
41
|
Pembangunan
II dan Eselon II
|
17
|
39,65
|
46
|
Pembangunan
III dan Eselon
|
17
|
44,99
|
55
|
Keterangan: Dalam bagian ini, Departemen Pertahanan
dan Keamanan tidak diikutsertakan Sumber :Dharmawan
Ronodipuro, 1986, 4-6
Jumlah Personal TNI dalam Kabinet Pembangunan[7]
KABINET
|
UNSUR MILITER
|
% MILITER
|
JUMLAH NOMINAL
|
Pembangunan
I
|
8
|
34
|
23
|
Pembangunan
II
|
6
|
24
|
25
|
Pembangunan
III
|
15
|
45
|
33
|
Pembangunan
IV
|
17
|
42
|
40
|
Pembangunan
V
|
14
|
34
|
41
|
Pembangunan
VI
|
10
|
24
|
42
|
Sumber: Mulyana W. Kusumah, Kompas, 4 Mei 1995; 4
Ø Birokrasi
Begitu
pula dominasinya dalam birokrasi relatif besar, ABRI menguasai kepala daerah,
mulai tingkat I (Gubernur) sampai tingkat II (Walikota atau Bupati),
menempatkan anggotanya menjadi duta besar, menjabat pejabat2 tinggi dalam
birokrasi sampai tingkat bawah. Penempatan ABRI di daerah-daerah tidak hanya
didaerah rawan, tetapi juga di daerah-daerah yang relatif stabil. Di Jawa
Tengah, Lampung, KalBar, SulUt yang daerahnya relatif stabil gubernurnya justru
berasal dari ABRI. Sedangkan di daerah rawan seperti Aceh, Timor-Timor dan
Irian Jaya, Gubernurnya justru dipegang oleh sipil.[8]
Tetapi untuk daerah rawn tersebut,
kepala daerah tingkat II tetap diisi oleh ABRI, sehingga secara politik
terkesan bahwa sipil yang memegang daerah tersebut, padahal secara riil di bawah
ABRI tetap menghegemoni. Untuk lebih jelasnya penguasaan ABRI terhadap
birokrasi mulai pusat sampai daerah, kita bisa melihat tabel di bawah ini :
Tabel
Jumlah Anggota TNI dan Polisi di Luar Bidang Hankam[9]
No
|
Jabatan/Penggolongan
|
1977/Mei
|
1980/November
|
1
2
3
4
5
6
|
Pusat
Pemerintahan
Menteri/Pimpinan
lembaga tinggi
Sekretaris
Jenderal
Inspektur
Jenderal
Direktur
Jenderal
Kepala
lembaga non-departemen
Sekr./Asisten
Menteri (setingkat)
|
17
(42,5%)
14
(73,6%)
18
(29,5%)
15
(78,9%)
8
(44,4%)
21
(84%)
|
19
(47,5%)
14
(73,6%)
18
(29,5%)
15
(78,9%)
8
(44,4%)
21
(84,0%)
|
|
Jumlah
|
76
(53,5%)
|
76
(53,5%)
|
7
8
9
|
Kepala
Daerah
Gubernur
Bupati
Walikota
|
19
(70,3%)
136
(56,4%)
19
(31,6%)
|
19
(70,3%)
137
(56,6%)
20
(33,3%)
|
10
11
12
|
Luar
Negeri
Duta
Besar
Kuasa
Usaha
Konsul
Jenderal
|
24
(41,0%)
1
(50,0%)
4
(25,0%)
|
28
(44,4%)
1
(50,0%)
4
(25,0%)
|
|
Jumlah
|
31
(31,9%)
|
35
(34,3%)
|
1
2
3
4
|
Sumber
Angkatan
Darat
Angkatan
Laut
Angkatan
Udara
Kepolisian
|
17.004
926
698
2.490
|
12.873
823
777
2.357
|
Sumber data:
Nugroho Notosusanto, 1984, 378-9
Penguasaan
ABRI mulai pusat sampai daerah dalam birokrasi masa orde baru, membuatnya
menjadi pengendali kebijakan pembangunan Indonesia dan pengkontrol efektif
stabilitas politik di daerah. Hal ini menjadikan kebijakan-kebijakan yang
dibuat pemerintah menjadi seperti harus melalui jalur komando dari atas sampai
bawah.
2.
ABRI
terhadap lembaga Legislatif
Ø Mekanisme
masuknya ABRI dlm legislatif
ABRI
tidak hanya memasuki dan menguasai di lembaga eksekutif, untuk mengendalikan
agar kebijakan berdasarkan kontitusi, maka ABRI juga melakukan penguasaan
terhadap lembaga legislatif, yaitu DPR dan MPR. Untuk masuk dalam lingkungan
legislatif, ABRI tidak perlu susah-susah untuk ikut dalam Pemilu, karena ia
memanfaatkan pasal 2 UUD 1945 akan utusan daerah sebagai salah satu anggota
legislatif. Sehingga tidak ada kompetisi yang fair untuk menjai wakil rakyat di
parlemen (ABRI dengan tanpa hambatan bisa masuk ke parlemen).
Sebenarnya
kalau kita lihat dari kelayakannya, apakah ABRI layak disebut sebagai utusan
daerah? ABRI sebagai perwujudan dari kekuasan pemerintahan/negara, menjadi
golongan yang layak disebut badan kolektif (utusan daerah yang dimaksud dalm
UUD 1945 adalah serikat buruh, koperasi dan badan kolektif lainnnya).
Ø Komposisi
ABRI dlm legislatif
Tabel VII.1 Jumlah Anggota FTNI/PoIri dl DPR/MPR,
1971-1999
Pemilu
|
Jumlah
Aggota DPR
|
Jumlah
|
Anggota DPR
Dari TNI/Polri
|
AnggotaMPR
Dari TNI/PoIri
|
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
|
460
460
460
500
500
500
500
|
920
920
920
1000
1000
1000
700
|
75(16)
75(16)
75(16)
100(20)
100(20)
75(15)
38(7)
|
155(16)
155(16)
155(16)
151 (15)
150(15)
113(11)
3815)
|
Sumber:
Hari'an Kompas, 13 Agusrus 2000. hal. 3.
ABRI
dalam legislatif tidak hanya menjadi anggota saja, melainkan menguasai ketua
DPRD di daerah2. Seperti di Timor2, dari
13 ketua DPRD II 7 diantaranya dijabat oleh ABRI, di Lampung, 2 dari 3 ketua
DPRD II dijabat ABRI, untuk Bali masih seimbang, 3 ABRI 3 sipil. Banyaknya
anggota ABRI yang menjabat ketua DPRD, mengakibatkan masyarakat takut untuk
datang ke DPRD, karena penggunaan konsep stabilitas pada mekanisme kerjanya.
Dan konsep rantai komandonya, mengakibatkan kepentingan korps akan lebih
dipentingkan dari pada kepentingan masyarakat.
3.
ABRI
terhadap Masyarakat Sipil
a.
Orsospol
dan Ormas
Ø Orsospol
o Keterlibatan
dalam GOLKAR
ABRI
juga melakukan intervensi terhadap kekuatan masyarakat sipil, salah satunya
adalah dengan membentuk Sekber Golkar. Dengan membidani pembentukan sekber
Golkar, membuat ABRI menjadi lebih terbuka untuk masuk dalam dunia sosial
politik. Golkar saat itu bukanlah sebagai partai politik, melainkan sebagai
ormas. Tetapi sekber Golkar sebagai ormas dapat ikut pemilu melawan partai
politik. Pembentukan Golkar, merupakan efek dari ketidakpercayaan orde baru
terhadap partai politik. Karena di masa Soekarno, terjadi instabilitas politik
yang parah, bahkan membuat kondisi ekonomi menjadi hancur, inflasi sampai 600%.
Dimana kondisi tersebut, dianggap sebagai ketidakmampuan partai politik dalam
memegang pemerintahan. Karena itulah dibentuklah Golkar sebagai wadah ABRI
untuk dapat berjuang di perpolitikan.
Sekber
Golkar dibentuk oleh ABRI untuk mengimbangi kekuatan-keuatan komunis dan
organisasi yang berafiliasi di bawahnya. Karena itu, Sekber Golakr merupakan
gabungan dari ormas-ormas bentukan ABRI, seperti MKGR, Soksi, Kosgoro dengan
organisasi lain, seperti 53 organisasi serikat buruh yang disponsori militer
dan pegawai negeri, 10 organisasi profesi, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa,
ABRI sendiri (AD, AL, AU dan Polri), 5 oranisasi wanita, 4 organisasi media
massa, 2 organisasi petani dan nelayan serta 9 organisasi lainnya. Kesemuanya
itu bergabung dalam Sekber Golkar dalam naungan ABRI di dalamnya.[10]
Pada
tahun 1966, karena dianggap terlalu gemuk secara keorganisasiannya, dilakukan
reorganisasi terhadap Sekber Golkar. Dalam reorganisasi tersebut, Sekber Golkar
akan menjai sebuah badan federasi yang dikelompokkan dalam 9 kino (kelompok
induk organisasi). pada saat itu pula, Sekber Golkar diubah menjadi fungsinya
dari sekedar ormas menjadi Orsospol baru.[11]
Dimana dari kepengurusan sekber yang baru, kesemuanya diduduki oleh ABRI
kecuali satu, yaitu Drs.Sumiskun sebagai ketua salah satu kino Gerakan
Pembangunan. Hal ini menujukkan bagaimana dominasi ABRI dalam tubuh Golkar
sendiri.
o Intervensi
terhadap orsospol lawan
ABRI
dalam intervensinya terhadap orsospol lawan, cara yang digunakan adalah pertama,
yaitu dengan menggunakan strategi ikut dalam penentuan kepengurusan orsospol,
memasukkan orang parpol yang berpihak pada ABRI untuk menjadi ketua dan pengurus
penting partai. Misalnya pada tahun 1970, ABRI merencanakan pergantian ketua
PNI Osa Maliki yang meninggal dengan Hadisubeno sebagai pendukung ABRI, padahal
massa PNI di Jawa lebih mendukung Hardi. Hal ini juga dilakukan ketika
pemilihan ketua Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada 1968. Bahkan di tahun
1996, ABRI memanfaatkan konflik internal PDI dengan merencanakan dan
memprakarsai Kongres Medan untuk menjatuhkan Megawati sebagai ketua umum.
Seluruh ketua DPD dan DPC PDI di berbagai daerah di panggil oleh komandan kodim
dan komandan korem. Mereka di briefing agar sepakat dan mendukung kongres medan
yang bertujuan untuk menjatuhkan Megaawati dengan memberikan fasilitas
transport dan membiayai seluruh akomodasinya.[12]
Kedua,
dengan pemberlakuan floating mass, yaitu dengan melarang partai politik
membangun jaringan politik di tingkat bawah, atau masyarakat dilarang melakukan
aktifitas politik selain saat pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali.[13]
Oleh karena itu parpol dilarang memilii keterwakilan sampai tingkat desa atau
kecamatan, hanya boleh sampai tingkat kabupaten. Sehingga mengakibatkan
keterputusan komunikasi dengan massa akar rumput partai.
Selain
itu, ABRI juga mengunakan cara intervensi kegiatan dengan tidak memberikan izin
keamanan kepada partai politik lawan untuk melakukan konsolidasi. Seperti yang
terjadi pada PPP di Aceh, PPP dipersulit mendapat ijin untuk melaksanakan
seminar partai, disisi lain Golkar diberi kemudahan ijin untuk melakukan
kegiatannya.
Ø Ormas
Dalam
Ormas ABRI lebih banyak menggunakan kekuatannya untuk memasukkan orang2nya
dalam ormas-ormas yang ada atau dengan membentuk ormas sendiri. Untuk masalah
kepemudaan, ABRI memiliki FKPPI, memiliki Dharma Pertiwi yang dikelola
istri-istri anggota ABRI, serta organisasi yang dikelola purnawirawan. Bahkan
di daerah rawan seperti Timor-Timor, terdapat ormas yang secara khusu dibentuk
dan dibina oleh kopassus, yakni Gardha Paksi.[14]
b.
Social
dan Budaya
Intervensi
ABRI terhadap system politik Indonesia, termasuk dalam aspek budaya massyarakat
Indonesia. Dalam hal ini akan dibahas mengenai aspek keagamaan, perizinan dan
pers, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi budaya politik di
Indonesia saat itu.
Ø Keagamaan
Intervensi
dalam bidang keagamaan salah satunya adalah dengan pengeluaran UU perkawinan
oleh Ali Moertopo, yang dianggap melakukan upaya sekulerisasi terhadap umat
Islam, dimana perkawinan dikatakan sah jika melalui catatan sipil.[15]
Hal ini mendapatkan perlawanan keras dari umat Islam.
Dimana
selanjutnya UU perkawinan tersebut diganti dengan UU yang baru pada tahun 1973
yang disahkan oleh Soetopo Joewono dan Bakin, dimana perkawinan sah jika
dicatat dalam catatan sipil yang diperoleh di KUA dengan syarat-syarat Islami.
Selain
masalah tersebut, anggota ABRI di daerah-daerah banyak masuk dalam lingkungan
pondok pesantren dan menjadi Pembina bagi organisasi-organisasi Islam di
daerah. Sehingga mereka dapat melakukan control terhadap kekuatan-kekuatan umat
Islam di daerah dan akar rumput.
Ø Perizinan
dan pers
Intervensi
ABRI terhadap bidang perijinan dalam hal mengenai masalah izin penerbitan,
merupakan imbas dari UU Darurat Perang tahun 1957 oleh Nasution. Dalam UU ini,
pers dilarang menerbitkan hal-hal yang mengancam stabilitas nasional. Jika
terdapat tulisan yang mengancam stabilitas nasional, maka wartawannya akan
ditahan dan penerbitnya akan dibredel.Salah satu contoh kasusnya adalah
penahanan terhadap Mochtar Loebis, salah satu wartawan senior masa itu.[16]
Perilaku
ABRI dengan UU tersebut sebenarnya bisa dikatakan salah tempat, karena UU
tersebut merupakan UU Darurat Perang, yang digunakan dalam konteks Negara dalam
bahaya, bukan dalam keadaan Negara yang stabil atau tidak dalam kontes bahaya
atau perang. Bahkan pada tahun1966-1978,
intervensi terhadap pers semakin kuat, pers dikontrol ketat. Koran-koran yang
akan terbit harus mendapatkan ijin dari Kopkamtib saat itu. Jika melanggar,
terdapat 2 tahapan penyikapan militer, pertama dengan pemberitahuan lewat
telepon kalau berita “X” tidak boleh dimuat, kedua dengan melakukan pembredelan.
III.
Pengaruhnya
terhadap Sistem Politik Orde Baru
Dengan kondisi yang demikian
hegemoniknya militer terhadap system politik Indonesia masa orde baru, baik di
dalam lembaga legislative, lembaga eksekutif, maupun dalam orsospol/ormas dan
social budaya masyarakat, sangat mempengaruhi dalam membentuk karakteristik
system politik masa itu yang mengarah pada otoritarian. Bagaimana kebijakan dan
aturan-aturan muncul sebagai output dari proses politik, bukan berasal dari
kebutuhan rakyat. Rakyat diintervensi atau dikooptasi kekuatannya, agar tidak
bisa macam-macam terhadap rencana rejim dalam melaksanakan pembangunan di
Indonesia. Bahkan secara proses dari kebijakan tersebut, mulai dari lembaga
legislative dan eksekutif dihegemoni oleh kekuatan militer rejim. Berikut akan
diuraikan mengenai system politik pada masa itu akibat dari intervensi militer
di era orde baru, mulai bagaimana input akan suatu kebijakan berasal, bagaimana
mekanisme atau proses pengeloplaan input sampai pengeluaran kebijakannya.
1.
Input
Input
merupakan sumber-sumber dari kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Di
masa orde baru, dimana masyarakat secara kekuatan politik di kerdilkan atau
dikooptasi oleh rejim militer, membuat masyarakat tidak bisa menyalurkan
aspirasinya. Bagaimana orsospol lawan dari rejim militer yang tidak boleh
membangun kekuatannya di basis akar rumput, membuat aspirasi masyarakat tidak
bisa tersalurkan dengan bebas. Bahkan di DPRD pun anggota dan ketua DPRD banyak
beranggotakan dari militer, yang membuat suara rakyat sulit didengar, karena
akan lebih mementingkan kepentingan korps. Dengan kondisi demikian, dalam
social budaya secara kebebasan pers, juga ikut dibatas. Hal ini semakin
membuat, masyarakat tidak bisa berkutik untuk menyuarakan aspirasinya terhadap
pemerintah. Sehingga suara rakyat sebagai salah satu input kebijakan
pemerintah, sulit untuk didengarkan, bahkan tidak bisa. Input kebijakan harus
berasal dari 1 kehendak, yaitu pimpinan rejim miilter itu sendiri, tidak lain
dan tidak bukan adalah Presiden Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI.
2.
Proses
Dalam
proses pembuatan kebijakanpun, militer lagi-lagi menghegemoni kekuatan di
legislative dan eksekutif sebagai lembaga-lembaga politik pemroses suara rakyat
atau pembuat kebijakan. Di orde baru, lembaga legislative dikuasai oleh rejim
militer, dimana anggota parlemen terdiri dari militer dan wakil dari golkar
(partai rejim saat itu). Sehingga aturan-aturan sebagai landasan dalam
pembuatan kebijakan, dapat dibuat sesuai kehendak pimpinan rejim militer.
Kekuatan rakyat dalam parlemen tidak bisa berbuat apa-apa, karena intimidasi
militer yang dilakukan diluar parlemen. Sehingga mereka tidak berani untuk
bersuara, menuruti apa kata pimpinan rejim (apa kata “bapak”). Apalagi kekuatan
pers, sebagai pengontrol dalam proses politik membuat kebijakan juga dilucuti
kekuatannya.
Bagaimana
dengan hegemoni militer ddalam legislative, diikuti juga di dalam lembaga
eksekutif baik mulai tingkat pusat sampai daerah. Sehingga membuat satu
kebijakan yang akan dikeluarkan tersentralkan atau berdasarkan perintah dari
pusat (pimpinan rejim militer). Sehingga proses politik dalam membuat kebijakan
berjalan satu arah, tidak ada system chek and balance.
Rakyat
dengan intimidasi militer, dan pengkontrolan militer terhadap ormas-ormas dan
lembaga keagamaan di daerah, membuat masyarakat sipil sebagai salah satu
kekuatan demokrasi dalam proses politik menjadi mandul, tidak memiliki kekuatan
sama sekali.
3.
Output
Dari
input politik yang tidak berasal dari rakyat, dan proses politik yang satu
arah, tidak ada unsure chek and balance. Secara otomatis berakibat dari
kebijakan-kebijakan yang ditimbulkan tidak bersal dari kehendak masyarakat,
kebijakan berasal dari keinginan pimpinan rejim. Antara lain bisa kita lihat,
bagaimana keijakan pengeluaran UU perkawinan diatas. Dimana pengeluaran UU
tersebut oleh Ali Moertopo, hanyalah digunakan sebagai alat politik rejim untuk
mengontrol umat Islam. Bahkan walaupun diganti dengan UU perkawinan yang baru,
itupun hanya bertujuan untuk memperhalus cara rejim untuk mengkontrol kekuatan
umat Islam. Dengan perkawinan umat Islam yang tercatat dalam catatan sipil,
dapat berefek pada terpetakannya persebaran dan laju regenerasi kekuatan umat
Islam. Juga kebijakan dalam pemilu, dalam pers, membuat rakyat tidak bisa bebas
berpartisipasi dalam kegiatan politiknya.
IV.
Kesimpulan
Sehingga dari penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwasannya intervensi ABRI yang hegemonic dalam system politik
masa orde baru, baik di legislative, eksekutif, dan dalam amsyarakat sipil
seperti orsospol dan ormas, serta social budaya masyarakat. Mengakibatkan
system politik masa orde baru memiliki karakteristik yang otoriter. Bagaimana
militer mengebiri kekuatan rakyat untuk menyuarakan dan menuntut hak-haknya,
membuat rakyat tidak bisa apa-apa, rakyat menjadi takut dan tidak berkembang
secara pemikiran dan kedewasaan politiknya.
Daftar Pustaka
1. Dr.
Indria Samego et al, “…Bila ABRI
Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998.
2. A.H.
Nasution, Kekaryaan ABRI, Jakarta :
Seruling Masa, 1971.
3. Yulianto
Dwi Pratomo, “ABRI & Kekuasaan”, puncak-puncak krisis hubungan sipil-ABRI
di Indonesia, Yogyakarta : NARASI, 2005. Hal 38-39.
4. John
A. MacDougall, “Patterns of Millitary Control in The Indonesian Higher Central
Bureaurency”, dalam The Indonesia,
no.33, Cornell University, 1982.
5. Bahan
kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer
di Panggung Politik Indonesia”.
6. Suryadinata
Leo, GOLKAR DAN MILITER, studi tentang Budaya Politik, Jakarta :LP3ES, 1992. Hal 13-18
7. DPP
Golkar, Laporan Golkar 1973, op.cit, hal.87.
8. Tim
ISAI, Megawati : Pantang Surut Langkah,
Jakarta : ISAI, 1996.
9. Rais,
Amien, “Golkar dan Demokratisasi di Indonesia”, Yogyakarta : PPSK dan Aditya
Media, 1993.
10. Crouch
Harold, Militer dan Politik di Indonesia,
Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
11. Lubis
Mochtar, Catatan Subversif, Jakarta :
Sinar Harapan, 1980
[1] Dr. Indria Samego et al, “…Bila
ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 87-88
[2] A.H. Nasution, Kekaryaan
ABRI, Jakarta : Seruling Masa, 1971.
[3] Dr. Indria Samego et al, “…Bila
ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 94
[4] Yulianto Dwi Pratomo, “ABRI & Kekuasaan”, puncak-puncak krisis
hubungan sipil-ABRI di Indonesia, Yogyakarta : NARASI, 2005. Hal 38-39.
[5] John A. MacDougall, “Patterns of Millitary Control in The
Indonesian Higher Central Bureaurency”, dalam The Indonesia, no.33, Cornell University, 1982.
[6] Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
[7] Ibid
[8] Dr. Indria Samego et al, “…Bila
ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 107
[9] Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi,
Aribawa, “Militer di Panggung Politik
Indonesia”.
[10] Suryadinata Leo, GOLKAR DAN MILITER, studi tentang Budaya Politik, Jakarta :LP3ES, 1992. Hal 13-18
[11] DPP Golkar, Laporan Golkar
1973, op.cit, hal.87.
[12] Tim ISAI, Megawati : Pantang
Surut Langkah, Jakarta : ISAI, 1996.
[13] Rais, Amien, “Golkar dan Demokratisasi di Indonesia”, Yogyakarta :
PPSK dan Aditya Media, 1993. Hal xiii
[14] Dr. Indria Samego et al, “…Bila
ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 118-119
[15] Crouch Harold, Militer dan
Politik di Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
[16] Lubis Mochtar, Catatan
Subversif, Jakarta : Sinar Harapan, 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar