Kamis, 17 April 2014

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL (Part 1)

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Q.S Ibrahim ayat 1)
Sungguh agung dan indah agama Islam yang kuanut ini, suatu agama yang membebaskan manusia dalam belenggu kejahiliyaan individu dan sosial. Suatu agama yang tidak hanya mengajarkan ketauhidan, tetapi agama yang visioner dan genius dalam melakukan suatu perbaikan dan perubahan sosial masyarakat, dengan pedoman Al Qur’an dan sunnah.
Kita semua tahu, bagaimana kondisi masyarakat arab sebelum Islam turun, dengan kejahiliyaan yang terjadi disegala sektor dan sudah menjadi budaya masyarakat. Seperti  penyembahan kepada berhala yang tidak memiliki kuasa atas semesta. Suatu keburukan dan kehinaan bagi keluarga ketika memiliki bayi perempuan, sehingga ada keharusan dan tradisi untuk dikubur hidup-hidup. Pemilik modal dan suku besar adalah penguasa masyarakat, yang bisa dengan seenaknya saling berkompromi untuk membuat aturan sendiri yang menguntungkan mereka, yang dengan seenaknya bisa dengan bebas menindas kaum yang lemah. Perzinahan, minum khamr dan judi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dan tidak menjadi sebuah nilai negatif. Pemilik modal yang dengan seenaknya menetapkan bunga kepada kaum lemah yang meminjam uang (praktek riba). Dimana itu semua telah mebudaya dan mengakar di masyarakat arab saat itu. Tetapi setelah Islam turun dengan ditunjuknya Muhammad SAW sebagai utusan dan Al Qur’an sebagai petunjuk/pedoman Rosul dan umat. Masyarakat arab mengalami perubahan sosial yang sangat drastis, bahkan bisa dibilang revolusioner. Nilai-nilai dan budaya negatif tersebut, semakin lama semakin terkikis dan diganti dengan sebuah nilai-nilai baru. Hanya dengan waktu 23 tahun, masyarakat arab ini telah membangun pondasi dan menjadi cikal bakal perubahan dan kemajuan peradaban Islam di dunia selama kurang lebih 10 abad lamanya dengan bimbingan Rosul dan Al Qur’an.
Terdapat bebrapa hal yang bisa kita ambil hikmah dan pelajaran dari usaha  yang dilakukan Islam dalam melakukan perubahan sosial. Dimana sebagai umat islam, kita wajib untuk mencontoh bahkan menjadikan sebuah tuntunan untuk kita dalam melakukan misi Khalifah fil Ardy, sebuah misi untuk bisa mengambil peran dalam perbaikan masyarakat dan bangsa kita untuk lebih maju dan sejahtera.
1.       Pendidikan keTauhidan, mencintai kebenaran
2.       Membiasakan untuk berfikir dan mencintai ilmu pengetahun
3.       Menghargai Kearifan masyarakat lokal selama tidak bertentangan pada kebenaran dan kemaslahatan umat
4.       Menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat
5.       Semangat amar ma’ruf nahi munkar di setiap individu
Marilah kita bahas satu persatu mengenai beberapa hal diatas :
1.       Pendidikan keTauhidan, mencintai kebenaran dan mengekang hawa nafsu
Islam hadir di masyarakat arab saat itu, hal yang utama diajarkan kepada masyarakat adalah masalah ketauhidan, lailahaillallah (tiada Tuhan selain Allah). Yang berarti setiap manusia menundukkan dirinya kepada Allah semata, tidak boleh kepada yang lain atau hawa nafsu mereka dalam menjalani kehidupan. Untuk masalah ini, Allah sangat tegas sekali dan tidak ada kompromi sebagaimana dalam surat Al Ikhlas (112) yang menyatakan keEsaan Allah dan surat Al Kafirun (109) yang menyatakan tentang tidak ada kompromi dalam hal keimanan dan agama (ketauhidan).
Ketauhidan inilah yang menjadi dasar masyarakat Islam dalam melakukan perbaikan sosial. Dengan kekuatan tauhid, setiap individu akan senantiasa memperhatikan setiap perilakunya, untuk berbuat negatif/dzalim, mereka akan berpikir ulang karena akan adanya hari perhitungan dan pembalasan di akhirat. Dengan tauhid, setiap individu akan berusaha menekan ego dan hawa nafsunya dalam bertindak, sehingga mereka akan mudah untuk di atur dalam suatu tata kehidupan bermasyarakat. Dengan tauhid, setiap individu akan memiliki kecintaan dan orientasi akan kebenaran. Dengan tauhid, setiap orang akan memiliki keberanian menghadapi apapun, demi memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, tidak ada ketakutan untuk memperjuangkan kebenaran. Dengan tauhid, setiap individu akan mudah disatukan dalam ikatan kebenaran, bukan kesukuan atau keturunan. Sehingga dengan kekuatan tauhid, diharapkan masyarakat islam dan arab saat itu memiliki pondasi untuk senantiasa berjuang dan memperjuangkan kehidupan yang berada pada jalur-jalur kebenaran demi terciptanya sebuah  masyarakat yang baik dan sejahtera.
 Karena itu, begitu pentingnya nilai-nilai tauhid menginternalisasi di dalam diri masyarakat dan umat Islam, untuk memperkuat nilai-nilai tauhid tersebut, selama 13 tahun Rosul dakwah di Mekkah, banyak sekali ayat-ayat AQ turun untuk menjelaskan dan memperkuat ketauhidan umat. Seperti ayat tentang kebesaran Allah, sifat-sifat Allah, tentang keakhiratan, tentang cara berfikir memahami kebesaran dan kekuasaan Allah, tentang sikap-sikap dalam menghadapi tantangan kaum kafir quraisy dalam mempertahankan ketauhidan. Sehingga kita bisa melihat kekhasan ayat-ayat Makkiyah yang banyak berisi tentang pembentukan nilai-nilai ketauhidan.
Hal ini terbukti, ketika nilai-nilai tauhid sudah masuk dalam diri seseorang, maka akan perubahan besar dalam diri orang tersebut. Ambil contoh adalah sahabat Umar bin Khattab, sebelum mengenal dan masuk Islam, ia suka minum khamr, suka berkelahi dalam menyelesaikan persoalan, biasa berzina. Ia juga seorang pemuda yg disegani di mekkah saat itu, dengan kekuatan fisiknya yg sulit ditandingi, kecerdasan berfikir dan independesinya dalam bersikap. Tetapi, ketika mengenal dan masuk Islam, dengan kesadaran ketauhidannya, ia langsung berubah. Nilai-nilai kehidupan jahiliyah yang sudah menjadi kebiasaannya, seakan hilang dan berganti dengan nilai-nilai kebenaran dalam kehidupannya. Ia menjadi orang yang menjauhi perzinahan, menjauhi khamr, menjauhi perjudian, menjauhi kekerasan (kecuali ketika membela kebenaran, ia bisa bersikap sangat keras). Bahkan dengan kesadarannya ia merelakan hidupnya untuk menjadi seorang agen perubahan sosial masyarakat arab saat itu bersama dengan Nabi dan sahabat yang lain, kelompok yang dulu ia hina dan lawan sekuat tenaga.
Dengan ketauhidan itulah, menjadikan Umar bin Khatab sebagai salah seorang pemimpin yang sukses dengan sikap yang bisa menjadi tauladan bagi semua pemimpin dan umat. Sikap kejujurannya, sikap kesederhanaan, sikap dalam menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, sikap kelembutannya serta empati sosialnya yang sangat tinggi. Sehingga ia mampu membawa Islam mencapai kejayaan dengan kemenangan dan tersebar sampai di Persia dan Romawi.
Dengan kekuatan tauhid, masyarakat arab menjadi masyarakat yang lebih beradab, mereka dengan kerelaanya bisa merubah tradisi jahiliyah ke tradisi yang beradab. Misalkan dalam hal khamr, sebelumnya khamr adalah bagian dari kehidupan masyarakat arab, ketika mereka berkumpul, mengadakan perayaan, menjamu tamu, khamr akan menjadi minuman wajib. Tetapi ketika Islam datang, ketika masyarakat arab sudah tertanam nilai-nilai ketauhidan, tradisi tersebut bisa dirubah dan dihilangkan. Dari awalnya menjadi perilaku yang biasa, menjadi perilaku yang negatif dan haram.
Misalkan lagi dalam hal memandang perempuan, sebelum Islam turun, perempuan bagaikan sebuah barang yang tidak bernilai. Dimana bayi perempuan sangat tidak dihargai, sehingga ada tuntutan untuk dikubur hidup-hidup, perempuan tidak memperoleh hak waris, bahkan perempuan atau ibu-ibu bisa dijadikan sebagai salah satu warisan yang akan dimiliki oleh anak tertua. Tetapi ketika Islam datang, dengan kekuatan Tauhid yang sudah tertanam di masyarakat arab, maka mereka bisa merubah itu semua, dengan kerelaan hati dan pikiran mereka lebih menghargai sosok perempuan. Perempuan bisa mendapatkan hak waris, dari dulunya menjadi barang warisan, bayi perempuan yang dilarang untuk dikubur hidup-hidup, bahkan perempuan juga dipercaya menjadi salah satu saksi.
Inilah kekuatan tauhid, sebuah nilai yang bisa merubah pola pikir dan sikap hidup manusia dan masyarakat untuk menuju pada kehidupan yang lebih beradab. Atas dasar itulah,  Allah memerintahkan kepada nabi untuk  menanamkan nilai-nilai Tauhid kedalam pemikiran masyarakat saat itu sebagai langkah awal untuk melakukan perbaikan sosial masyarakat. Sehingga inilah nilai awal yang harus ditanamkan kepada masyarakat, ketika kita ingin melakukan perbaikan sosial masyarakat, kesadaran untuk ketundukkan kepada Allah sebagai Tuhan semesta alam dalam menjalani kehidupan.
2.       Membiasakan untuk berfikir dan mencintai ilmu pengetahun
Kemajuan peradaban linear dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan oleh masyarakatnya. Siapa yang menguasai ilmu pengetahuan, akan menguasai peradaban di dunia. Itulah kenapa agama Islam mempersiapkan umatnya agar bisa mengatur kehidupan, agar bisa menjalankan misi Khalifah fil Ardy, agar bisa menjadi pelopor peradaban dunia dalam kemajuan, mendidik umatnya untuk membiasakan diri untuk berpikir dan mencintai ilmu pengetahuan.
Allah menurunkan banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan mencintai ilmu pengetahuan. Bahkan dalam mendidik Rosul dan umat Islam untuk pertama kali meyakini keberadaan dan kekuasaan-Nya, Allah tidak menggunakan cara-cara doktrin, tetapi menggunakan cara-cara yang mengajarkan kemandirian berpikir dengan menurunkan surat Al Alaq ayat 1-5 Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Bahkan aktifitas berfikir, menggunakan ilmu pengetahuan, dijadikan sebuah metodologi dalam menemukan keberadaan dan kebesaran Allah serta kebenaran ajaran Islam. Diantaranya ayat2Nya antara lain : Q.S 3 : 190-191 , Q.S 35 : 28, Q.S 67 : 10 , Q.S 3 : 7, Q.S 39 : 9, Q.S 30 : 28-29, Q.S 2 : 164, Q.S 12 : 1-2, Q.S 6 : 151
Islam sangat mencintai aktifitas berfikir dan ilmu pengetahuan, segala aktifitas yang berkaitan untuk mencari, menyebarkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan adalah bagian dari ibadah. Bahkan dalam sebuah hadist diriwayatkan mencari ilmu adalah salah satu ibadah yang bernilai tinggi, diantaranya : Salah seorang Anshar bertanya kepada Rosulullah SAW, “Wahai Rosul, jika ada orang yang meningggal dunia bertepatan dengan acara majelis ulama, manakah yang lebih berhak mendapatkan perhatian?” Rasulullah pun menjawab, “Jika telah ada orang yang mengantarkan dan menguburkan jenazah itu, maka menghadiri majelis ulama itu lebih utama dari pada melayat seribu jenazah. Bahkan ia lebih utama daripada menjenguk seribu orang sakit, atau sholat seribu hari seribu malam, atau sedekah seribu dirham kepada fakir miskin, ataupun seribu kali haji, bahkan lebih utama daripada seribu kali berperang dijalan Allah dengan jiwa dan hartamu! Tahukah engkau bahwa Allah dipatuhi dengan ilmu, dan disembah dengan ilmu pula? Tahukah engkau bahwa kebaikan dunia dan akhirat adalah dengan ilmu, sedangkan keburukan dunia dan akhirat adalah dengan kebodohan?”
Begitu dihargainya ilmu pengetahuan dalam islam, bahkan dalam sejarah pernah Rosul berkata kepada tawanan perang badar, bahwa siapapun diantara mereka yang menjadi tawanan ingin membeli kebebasan mereka tetapi tanpa mengeluarkan uang tebusan, dapat memanfaatkan kemampuan baca tulis mereka sebagai sumber kebebasan mereka. Setiap tawanan musyrik yang mengajarkan sepuluh orang muslim membaca dan menulis, akan meraih kebebasan mereka.
Kecintaan akan ilmu dan pembiasaan dalam berfikir, sangat dibiasakan oleh Rosul saat itu. Seperti dicontohkan dalam dakwah, Rosul tidak pernah menggunakan cara-cara doktrin untuk mengajarkan keEsaan Allah dan kebenaran ajaran Islam. Beliau senantiasa menggunakan dialog-dialog yang argumentatif dicampur dengan ayat-ayat Al Qur’an, sehingga membuat orang-orang quraisy sulit untuk membantahnya dan banyak orang yang terpikat dan terpengaruh dengan penjelasan Rosul terhadap agama Islam. Terbukti, dengan ketidakmampuan masyarakat kafir quraisy untuk dialog dan menghadapi argumentasi Rosul, mereka menggunakan cara penyebaran fitnah, dengan memfitnah Rosul adalah seorang tukang sihir, penghipnotis, sehingga menyuruh orang untuk jangan mencoba-coba mendekatinya jika tidak ingin terpengaruh dengan perkataannya. Karena perkataannya itu mengandung racun yang menyebabkan masyarakat mekkah pecah, anak dan orang tua menjadi bermusuhan.
Selain pola dakwah yang demikian mendidik, Rosul dalam membina para sahabatnya juga senantiasa memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk berdialog, bertanya, berdiskusi, tentang berbagai masalah agama dan masalah keummatan. Bagaimana pernah terjadi dialog antara Rosul, Abu Bakar, dan Umar dalam mensikapi tawanan perang badar. Rosul dan Abu Bakar lebih cenderung meminta tebusan, tetapi Umar lebih cenderung membunuh para tawanan perang. Bagaimana seorang Salman Al Farisy, seorang muallaf yang baru masuk Islam, ikut berdialog dengan Rosul dalam meberikan solusi strategi dalam perang Khandak, yang akhirnya dipilihlah strategi parit atas ide Salman.
Hal ini menunjukkan, bagaimana Rosul sangat menghargai kebebasan berpikir sahabat dan ummat. Selama berorientai kepada pemecahan masalah dan kebaikan umat, maka dibebaskan sama Rosul.
Betapa tingginya ilmu didalam pandangan umat Islam saat itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu dan salah seorang khalifah yang dijului Baitul Ilmu berkata, “Barangsiapa sedang mencari ilmu, maka sebenarnya ia sedang mencari surga. Dan barangsiapa mencari kemaksiatan, maka sebenarnya ia sedang mencari neraka.” Bahkan ia menyatakan bahwa penyebaran ilmu pengetahuan, kultur dan kemampuan intelektual merupakan salah satu keutamaan yang harus didambakan dan dicapai setiap pemerintahan muslim. Dalam catatan tentang ucapan-ucapan beliau, diberitakan bahwa beliau pernah mengatakan, “Wahai manusia! Aku memiliki hak-hak atas kalian dan kalian memiliki hak-hak atasku. Hak kalian atasku adalah menuntut agar aku selalu memberi kalian petunjuk dan nasihat, memperjuangkan kesejahteraan kalian, memperbaiki dana-dana publik dan segala penghidupan kalian, serta membantu mengangkat dari kebodohan dan kebuta aksaraan menuju ketinggian-ketinggian ilmu pengetahuan, kultur, tatakrama sosial dan perilaku yang baik.”
Inilah Islam, mulai penanaman ketauhidan sampai pengajaran terhadap ajaran-ajaran agamanya, senantiasa dilandasi oleh pola-pola keilmuan. Perintah untuk berfikir, merenung, bertafakur, memahami dalam ayat-ayat Alqur’an, serta pola nabi dalam dakwah dan mendidik umat Islam saat itu. Menjadikan pola-pola keilmuan sangat dihargai. Kebiasaan berfikir, dialog, berdiskusi untuk mencari ilmu dan pemecahan masalah, sudah menjadi keseharian umat Islam saat itu. Bahkan tidak ada unsur senioritas dalam hal keilmuan saat itu, siapapun, apapun posisinya, selama pendapatnya memberikan solusi, maka ia menjadi orang yang dihargai, sebagaimana Salman Al Farisy. Hingga akhirnya kebiasaan  ini menjadi modal, cikal bakal dan kultur keilmuan umat Islam kedepan, untuk menjadi pusat peradaban dunia.

Hingga akhirnya terbukti, dengan kultur yang telah terbangun demikian, Islam menjadi pusat peradaban dunia selama hampir 10 abad. Banyak sekali pusat-pusat peradaban dan Universitas-universitas yang muncul di negara-negara Islam, di Baghdad, Cordoba, Kairo dan kota-kota lainnya. Sehingga memunculkan banyak sekali ilmuwan-ilmuwan muslim dengan berbagai macam karyanya di berbagai bidang kehidupan. Hingga mampu memberikan inspirasi kepada dunia barat dengan gerakan Renaissancenya.

Rabu, 16 April 2014

Meneladani Pemimpin Anti Korupsi : Umar bin Abdul Azis

Suatu malam, datang seorang utusan gubernur suatu daerah ke kediaman Umar bin Abdul Aziz yang kala itu menjabat sebagai Amirul Mukminin. Umar menanyakan soal keadaan penduduk daerah tersebut, kepemimpinan gubernurnya, fakir miskin, harga-harga, dan segala yang berhubungan dengan daerah yang didiami sang utusan gubernur, yang lalu dijawab oleh utusan gubernur itu tanpa ada yang disembunyikan.
Selanjutnya, ganti si utusan gubernur yang bertanya kepada Umar, bagaimana keadaan Umar dan keluarganya. Sebelum menjawab, Umar menyuruh pelayannya untuk mengganti lilin yang digunakan sebagai penerang ruangan, dengan lilin lain yang lebih kecil. Si utusan gubernur kebingungan. Umar pun menjawab kebingungan itu. Bahwasanya, lilin kecil yang digunakannya itu adalah miliknya sendiri, sedangkan lilin besar yang baru saja dimatikan adalah milik negara. Pertanyaan yang diajukan oleh utusan gubernur itu tidak ada kaitannya dengan negara, maka Umar mematikan lilin negara dan menggantinya dengan lilin miliknya sendiri.
Kisah di atas hanya sebagian kecil dari sikap kepemimpinan antikorupsi yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz, salah seorang pemimpin Islam, yang dianggap sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5. Kesederhanaan dan sikap hati-hatinya, patut dijadikan teladan oleh kita. Jangankan mengkorupsi harta negara yang jumlahnya trilyunan, mengkorupsi sebatang lilin pun beliau tak mau. Bahkan, ketika diangkat sebagai Khalifah (pemimpin negara), Umar sempat menolak. Namun, rakyat tetap memilihnya sebagai pemimpin, sehingga beliau menjalankan amanahnya.
Umar bin Abdul Aziz, menolak kendaraan dinas dan memilih menggunakan kendaraannya sendiri. Sesaat setelah diangkat menjadi khalifah, para pengawal datang mengantarkan kendaraan khusus kekhalifahan. Umar berkata: “Bawalah kendaraan ini ke pasar, dan juallah. Hasilnya disimpan di Baitul Maal. Saya cukup menggunakan kendaraan sendiri.” Baitul Maal adalah lembaga zakat tempat menyimpan harta negara yang kemudian digunakan untuk keperluan rakyat.
Umar amat berhati-hati menggunakan uang negara, bahkan ia memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali. Hidupnya sangat sederhana, meskipun telah menjadi pemimpin negara. Sebelum diangkat menjadi Khalifah, kekayaannya berjumlah 40 ribu dinar. Setelah wafat, kekayaannya justru berkurang sehingga hanya menjadi 400 dinar. Bandingkan dengan para pejabat kita yang justru bertambah banyak sekali kekayaannya setelah menjabat sebagai pemimpin atau wakil rakyat, bahkan pertambahan tersebut banyak yang irasional. Seakan tak cukup gaji yang diambil dari pajak rakyat, masih juga mengkorupsi uang rakyat.
Membaca dan melihat berita tentang korupsi di media massa dan televisi, membuat kita muak dan geram. Di tengah penderitaan bayi-bayi yang terkena busung lapar, anak-anak sekolah yang tak dapat sekolah karena sekolahnya rusak, anak-anak yang tak tertolong karena biaya rumah sakit yang mencekik, rakyat yang kelaparan, dan penderitaan-penderitaan lainnya, para wakil rakyat justru sibuk mengkorupsi uang rakyat. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah orang-orang yang mengaku membela agama, tetapi juga malakukan tindak korupsi, yang membuat rakyat makin tercekik karena kenaikan harga kebutuhan pokok akibat perilaku korupsi para pejabat tersebut.
Korupsi, Dimulai dari Kecil
Bagaimana awalnya seseorang bisa melakukan tindakan korupsi? Korupsi besar sesungguhnya dimulai dari korupsi kecil. Diawali oleh sebuah pemakluman, “ah, hanya mengambil sedikit kok…” Lama-lama, perbuatan itu menjadi biasa. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Umar bin Abdul Aziz, menghindari korupsi, meskipun sedikit. Misalnya seperti kisah di atas. Beliau tidak mau memakai lilin negara, padahal berapakah harga lilin? Tidak mahal. Apakah kita sudah meneladaninya? Mungkin kita lupa, korupsi kecil-kecilan yang kita lakukan dengan pemakluman, “ah, hanya sedikit….” Karyawan yang bekerja di kantor, sesekali menggunakan kertas kantor untuk keperluan pribadi, internet kantor untuk keperluan pribadi, bahkan listrik kantor untuk keperluan pribadi. Tanpa izin pemilik kantor, sekecil apa pun, dapat disebut dengan korupsi. Dan yang sedikit itu, lama-lama menjadi bukit. Kendaraan dinas, misalnya. Semestinya kendaraan dinas hanya digunakan untuk urusan dinas, tetapi sering sekali kendaraan berplat merah itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Itu dari sisi koruptor. Jangan-jangan kita sendiri juga telah memberikan peluang terselenggaranya perbuatan korupsi para koruptor. Misalnya dalam urusan surat-menyurat yang berkaitan dengan birokrasi. Mau mengurus SIM, supaya cepat, kita pilih lewat “jalan belakang.” Harganya memang lebih mahal, tapi prosesnya lebih cepat.
Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Sebagai seorang warga negara yang baik, yang hidup di negara Indonesia, dengan masih menjamurnya perilaku korupsi. Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk terlibat aktif dalam berperan untuk mencegah dan memberantas perilaku korupsi di sekitar kita. Antara lain yang bisa kita lakukan adalah : Pertama, menjauhkan diri dari tindakan korupsi sekecil apa pun, mulai dari diri sendiri sampai ke keluarga, karena dari yang kecil itu lama-lama menjadi besar. Kedua, tidak memberi kesempatan kepada koruptor untuk melakukan tindakan korupsi. Misalnya dalam pengurusan surat-surat yang membuka celah korupsi, gunakan jalan biasa, bukan jalan cepat dengan menambah biaya yang akan masuk ke kantong koruptor. Ketiga, laporkan ke pihak berwenang, misalnya KPK atau LSM antikorupsi, apabila menemukan atau melihat adanya tindak pidana korupsi. Keempat, menjadikan pemimpin-pemimpin jujur sebagai suri teladan untuk dicontoh perilaku mereka dalam keseharian, contohnya Umar bin Abdul Aziz. Kelima, memilih pemimpin dan parpol yg bersih atau tidak memilih pemimpin dan parpol yg melakukan korupsi.
Semoga negara kita terbebas dari perilaku korupsi, baik oleh pejabat negara maupun masyarakatnya, sehingga menjadi negara yang diberkahi, makmur, dan sejahtera.

Kebaikan Kita Adalah Investasi Kita

Suatu hari, seorang anak miskin yang berjualan dari rumah ke rumah untuk membiayai sekolahnya merasa sangat lapar tapi hanya mempunyai uang satu sen. Ia memutuskan untuk minta makan di rumah berikutnya, namun segera kehilangan keberaniannya ketika seorang gadis cantik telah membukakan pintu. Sebagai gantinya ia minta air.Gadis itu melihat bahwa si anak kecil tampak kelaparan, ia lalu membawakannya segelas besar susu.
Anak itu pun meminumnya perlahan-lahan “Berapa harus kubayar segelas susu ini?” kata anak itu. “Kau tidak harus membayar apa-apa,” jawab si gadis. “Ibu melarangku menerima pembayaran atas kebaikan yang kulakukan.” “Bila demikian, ku ucapkan terima kasih banyak dari lubuk hatiku.” Howard Kelly lalu meninggalkan rumah itu. Ia tidak saja lebih kuat badannya, tapi keyakinannya kepada Tuhan dan kepercayaannya kepada sesama manusia menjadi semakin mantap. Sebelumnya ia telah merasa putus asa dan hendak menyerah pada nasib. 
Beberapa tahun kemudian gadis itu menderita sakit parah. Para dokter setempat kebingungan sewaktu mendiagnosa penyakitnya. Mereka lalu mengirimnya ke kota besar dan mengundang beberapa dokter ahli untuk mempelajari penyakit langka si pasien. Dokter Howard Kelly akhirnya dipanggil ke ruang konsultasi untuk dimintai pendapat. Ketika mendengar nama kota asal si pasien, terlihat pancaran aneh di mata Dokter Kelly.
Ia segera bangkit lalu berjalan di lorong rumah sakit dengan berpakaian dokter untuk menemui si pasien. Dokter Kelly segera mengenali wanita sakit itu. Ia lalu kembali ke ruang konsultasi dengan tekad untuk menyelamatkan nyawanya. Sejak hari itu Dokter Kelly memberikan perhatian khusus pada kasus si pasien. Setelah dirawat cukup lama, akhirnya si pasien bisa disembuhkan. Dokter Kelly meminta kepada bagian keuangan agar tagihan rumah sakit diajukan kepadanya dahulu untuk disetujui sebelum diserahkan kepada si pasien.
Nota tagihan pun kemudian dikirimkan ke kantor Dokter Kelly. Ia mengamati sejenak lalu menuliskan sesuatu di pinggirnya. Tagihan itu kemudian dikirimkan ke kamar pasien. Si pasien takut membuka amplop nota tagihan karena yakin bahwa untuk dapat melunasinya ia harus menghabiskan sisa umurnya. Akhirnya, tagihan itu dibuka dan pandangannya segera tertuju pada tulisan di pinggir tagihan itu : Telah dibayar lunas dengan segelas susu Tertanda DR. Howard Kelly. Air mata bahagia membanjiri mata si pasien. Ia berkata dalam hati,“Terima kasih Alloh, cinta-Mu telah tersebar luas lewat hati dan tangan manusia.”
Hikmah : Setiap kebaikan, tidak ada yang namanya kesia-siaan. Apalagi jika dilakukan dengan keikhlasan. Termasuk ketika kita memberi bantuan kepada orang lain, tidak berarti kita akan semakin berkurang. Karena setiap bantuan kita, merupakan investasi kita. Karena Allah akan membalas setiap kebaikan kita, walaupun kita tidak tahu secara pasti kapan dan bagaimananya. Sehingga jangan pernah berhenti untuk membantu orang lain, karena itu adalah investasi kita sendiri.

Hadiah Itu Berupa Waktu

Bayangkan ada sebuah bank yang memberi anda pinjaman uang sejumlah Rp.86.400,- setiap paginya. Semua uang itu harus anda gunakan. Pada malam hari, bank akan menghapus sisa uang yang tidak anda gunakan selama sehari. Coba tebak, apa yang akan anda lakukan? Tentu saja, menghabiskan semua uang pinjaman itu bukan? Hanya orang-orang yang bodoh dan tidak berfikir secara rasional saja yang menyisahkannya. 

Begitupun dengan kehidupan kita. Setiap dari kita memiliki bank semacam itu, bernama WAKTU. Setiap pagi, ia akan memberi anda 86.400 detik. Pada malam harinya ia akan menghapus sisa waktu yang tidak anda gunakan untuk tujuan baik. Karena ia tidak memberikan sisa waktunya pada anda. Ia juga tidak memberikan waktu tambahan. Setiap hari ia akan membuka satu rekening baru untuk anda. Setiap malam ia akan menghanguskan yang tersisa. 
Jika anda tidak menggunakannya maka kerugian akan menimpa anda. Anda tidak bisa menariknya kembali. Juga, anda tidak bisa meminta "uang muka" untuk keesokan hari. Anda harus hidup di dalam simpanan hari ini. Maka dari itu, investasikanlah untuk kebaikan dan amal, kesehatan, kebahagiaan serta kesuksesan anda.
Jam terus berdetak. Gunakan waktu anda sebaik-baiknya.
Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang tidak naik kelas.
Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.
Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.
Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.
Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang.
Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.
Agar tahu pentingnya waktu SEMILIDETIK, tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.

Renungan: Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Ingatlah waktu tidaklah menunggu apa dan siapa, serta waktu tidak mengenal toleransi untuk bisa kembali lagi.
“ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al 'Ashr)

Selasa, 15 April 2014

Suara Rakyat Pasca Pileg 9 April 2014

Selesai sudah hajatan politik nasional tahap pertama, yaitu pileg tanggal 9 April 2014. Suatu proses sistem demokrasi untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD. Ketika genderang kompetisi ditabuh oleh KPU, semua partai dan caleg berlomba-lomba memperkenalkan dirinya ke masyarakat dengan berbagai cara untuk dipilih, mulai cara yang halal dan legal, sampai cara yang haram dan ilegal (melanggar aturan KPU) pun digunakan. Kita bisa melihat bagaimana rata-rata partai berlomba-lomba menarik ribuan massa dengan menggunakan artis dangdut dalam kampanyenya. Ya kita ambil sisi positifnya lah, mungkin mereka ingin memberikan sedikit hiburan kepada massa, setelah mereka “dipaksa” mendengarkan orasi dan janji2 politik mereka, yg mungkin massa juga tidak paham, tidak menghiraukan apa yg diomongkan oleh jurkam. Dengan adanya lagu dan goyang dangdut tersebut, bisa memberikan hiburan bagi mereka. Pun untuk mendatangkan massa, berbagai cara dilakukan, entah dengan iming2an dorprise, uang transport dan sebagainya, yang penting ada massa untuk mendengarkan kampanye mereka.
Kita juga bisa melihat bagaimana para caleg juga berlomba-lomba untuk turun ke masyarakat sampai tingkat RT untuk merebut simpati mereka. Mulai dengan melakukan pengaspalan di gang-gang kecil, sebagai bentuk wujud “kepedulian” mereka terhadap warga, melakukan ziaroh wali songo kepada kelompok pengajian, melakukan pemeriksaan kesehatan gratis, memberikan sembako, memberi kompor gas ke warga miskin, dan banyak sekali. Bahkan kalau kita berada di jalan, kita akan melihat foto-foto caleg dan logo partai ditempel dimana-mana, tiang listrik, batang pohon, tembok rumah, warteg, bahkan di angkotpun juga ada.
Yang lucu adalah, mereka para tim sukses partai dan caleg senantiasa kejar-kejaran dengan panwaslu dan satpol PP. Berdasarkan keterangan orang panwaslu, ketika penulis daftar menjadi sukarelawan panwas, ketika malam hari baliho, poster, dan spanduk para caleg dan partai yg melanggar aturan dibersihkan, seperti yg ada di pohon dan jalan-jalan protokol, sehari berikutnya baliho dan poster tersebut akan bermunculan lagi. Sehingga membuat panwas dan satpol PP kecapekan sendiri, dan dengan keterbatasan tenaganya, akhirnya pelanggaran tersebut dibiarkan saja. Yah, itulah proses pemilu kita sebagai bagian proses berdemokrasi dalam politik.
Sebenarnya sebagai rakyat biasa yang mengamati kondisi politik bangsa Indonesia, ada kebanggaan dan kesedihan yang penulis rasakan. Mengapa? Pertama, penulis bangga dengan proses kedewasaan rakyat Indonesia dalam berdemokrasi. Dengan banyaknya parpol dengan berbagai macam aliran ideologi berbangsa seperti Nasionalis, Islami tradisi, Islam modernis, islam fundamental, dan Sekuler, secara umum pemilu ini bisa berjalan lancar tanpa ada kekacauan yang berarti, suatu kondisi yang jarang terjadi negara lain. Bahkan dalam beberapa RW di Jaksel yang pernah penulis telusuri, terdapat 1-5 RT adalah wilayah basis parpol islam tertentu, RT yang lain berbasis parpol Nasionalis, dan dalam proses kampanye ya baik-baik saja, tidak ada gesekan antar warga. Kedua, masyarakat Idonesia terutama yang di perkotaan, juga sudah mulai bisa menilai mana yang baik dan yang tidak. Bahkan mereka sudah menyadari kalau pemilu itu sebagai ajang menghukum pemimpin yang korupsi dan hadiah bagi pemimpin yang amanah. Makanya kita bisa melihat dari beberapa quick count dari lembaga survei, partai penguasa seperti Demokrat yg terkena badai korupsi, suaranya turun drastis dari 20% ke 9%-10%, PKS dari 8% turun ke 6%-7%, PDI-P, Gerindra, PKB, sebagai partai yang jauh dari isu korupsi, suaranya naik drastis. Kalau kita amati lagi, kedewasaan masyarakat kita bisa dilihat dari banyaknya caleg yang stress karena gagal mendapat dukungan. Hal ini menandakan bahwasannya masyarakat ketika dikasih uang atau barang oleh caleg tersebut (dimana besar harapan caleg untuk dipilih ketika sudah “memberi”), mereka hanya menerima, tetapi tidak memilihnya. Walau penulis sendiri belum tahu pasti kenapa tidak sampai dipilih, apakah memang karena ada caleg lain yg memberi lebih besar, atau tidak percaya terhadap caleg tersebut. Tetapi minimal, ternyata tidak semua masyarakat dapat dibeli oleh uang, tidak semua masyarakat bersikap pragmatis. Mungkin ini menjadi sebuah harapan bagi “pejuang” bangsa untuk terus optimis bisa melakukan perubahan, dengan sikap masyarakat yg tidak semuanya pragmatis.
Selain bangga, ada juga kesedihan yang dirasakan, pertama, tingkat golput yang masih tinggi, berdasarkan survei LSI dari hitung cepat, angka golput pada pemilu 2014 berkisar pada angka 34,02%, lebih tinggi dari pada pemilu legislatif 2009 yang 29,01%. Walaupun ada beberapa sebab tingginya golput, seperti masalah administratif, masalah tekhnis, ataupun masalah politis. Hal ini menunjukkan beberapa hal, yaitu dari sisi KPU yang belum bisa menjamin dan menjangkau hak memilih masyarakat dalam DPT atau DPK, sehingga banyak yg tidak terdaftar dan tidak bisa memilih ketika hari H. Dari sisi warga, ternyata masih banyak yang belum mempercayai sepenuhnya institusi politik untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dengan sengaja untuk tidak datang ke TPS atau mencoblosi semua gambar partai. Bagaimana sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik, jika penyelenggaranya kurang maksimal dan partisipasi warga terhadap pemilu sangat rendah, 1/3 golput, itu sangat mengkhawatirkan keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Seharusnya tingginya angka golput, harus menjadi cambuk bagi caleg terpilih dan partai politik, untuk menjalankan fungsi mereka dengan penuh amanat dan bertanggungjawab.
Kedua, penulis merasa sedih dengan cara kampanye dan pendekatan peserta pemilu yang kurang memberikan pendidikan politik kepada warga. Kita bisa melihat bagaimana para partai dan caleg ketika kampanye akbar di beberapa daerah, cenderung mengedepankan atau menonjolkan sesi hiburan, seperti dangdut yang seronok, atau yang selainnya kepada massa. Seharusnya mereka mengutamakan penjabaran visi misi dan membuka tanya jawab kepada khalayak agar terjadi interaksi ketika kampanye. Bagaimana partai dan caleg hanya ramai turun mendekati warga, dengan alasan untuk “menjaring aspirasi” hanya ketika menjelang pemilu saja. Lantas selama ini kalian kemana saja ketika masyarkat memiliki keluhan terhadap masalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi mereka??? Sehingga jangan menyalahkan masyarakat, ketika mereka menuntut pemberian uang atau barang kepada caleg2 yang datang ke mereka.
Seandainya saja, partai-partai menjalankan fungsi pendidikan politik ke warga, caleg dan wakil rakyat incumbent senantiasa turun ke masyarakat, maka rakyat akan semakin dewasa dalam berpolitik. Ide-ide dari rakyat akan senantiasa mengalir ke wakilnya, sehingga wakilnya bisa memperjuangkan ke DPR. Degngan begitu interaksi pemikiran, interaksi evaluasi kebutuhan dan kelemahan program masyarakat akan senantiasa terjadi dan sehingga akan terus mengalami perbaikan di tingkat kebijakan dan implementasi ke bawah. Semoga saja kondisi ini akan terjadi di negara kita.
Ok lah, sekarang pileg telah selesai dengan hasil berdasarkan quick count 2014 versi LSI untuk 10 besar perolehan suara tertinggi: 1.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP): 19,53%; 2.Partai Golongan Karya (Golkar): 15,43% ; 3.Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): 11,76% ; 4.Partai Demokrat: 10,32% ; 5.Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 9,40% ; 6.Partai Amanat Nasional (PAN): 7,38% ; 7.Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 6,91% ; 8.Partai Keadilan sejahtera (PKS): 6,21% ; 9.Partai Nasional Demokrat (NasDem): 6,01% ;  10.Partai Hanura: 5,31%. Hal ini menunjukkan bagaimana rakyat tidak mempercayai incumbent (penguasa sebelumnya/demokrat), dengan lebih memberi kesempatan kepada PDI-P, Gerindra, Golkar untuk mengatur bangsa Indonesia 5 tahun kedepan.
Sebenarnya, apapun hasil pemilu, siapapun yang menang, entah itu partai nasionalis, partai Islam, atau partai sekuler. Hanya 1 harapan penulis sebagai rakyat Indonesia, yang mungkin memiliki harapan yang sama dengan rakya Indonesia lainya, bagaimana caleg, partai dan pemimpin yang terpilih bisa meninggalkan kepentingan keluarga, kepentingan golongan / partai, demi kepentingan bersama bangsa Indonesia yaitu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, menjamin hak-hak dasar masyarakat Indonesia untuk beragama, berserikat, berpendapat, memperoleh pendidikan dan perawatan kesehatan yg layak, serta hak untuk hidup layak.
Apalah arti parpol bisa menang 20%, 30%, bahkan 51%, jika ketika mereka berkuasa hanya untuk memajukan kepentingan golongan dan keluarganya saja. Jika masih banyak rakyat yang tidak memperoleh pendidikan, dan kesehatan, jika rakyat harus bersusah payah untuk mencari makan dan hidup di negaranya sendiri. Karena pada dasarnya politik itu adalah alat dan sistem untuk menciptakan kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara, bukan alat atau sistem untuk mengeruk sumber daya negara demi kepentingan pribadi dan golongan.
Semoga pemilu 2014 ini mejadi titik balik bangsa Indonesia untuk mengalami progres dan kemajuan menuju sebuah bangsa yang kuat dan sejahtera serta menjadi bangsa yang aman bagi semua golongan untuk hidup bermasyarakat. Kepada para caleg yang terpilih nantinya, sebagai rakyat, saya mendoakan agar kalian semua menjadi orang yang amanat, karena apa yang kalian lakukan di parlemen, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jadikanlah jabatan politik tersebut, sebagai lahan bagi kalian untuk berkompetisi memberikan amalan yang terbaik dengan memajukan bangsa Indonesia.

Rabu, 09 April 2014

PERBURUAN IMAGINER

            Adakah orang yang tidak ingin kaya ? mungkin jawabannya adalah tidak ada. Kalaupun toh ada, pastinya sangat sulit untuk menemukan orang yang tidak suka sama harta. Tetapi pernahkah kita berfikir untuk apa sebenarnya harta kekayaan yang kita buru tersebut? Barangkali kita setuju dengan anggapan bahwa dengan memiliki harta kekayaan yang melimpah, kita bisa mewujudkan segala keinginan kita dengan mudah. Kita tidak perlu berdesak-desakan untuk naik bus kota ketika hendak berpergian, untuk makan enak kita hanya tinggal pesan atau pergi ke restaurant, untuk tidur kita tinggal bertelekan di kasur yang empuk. Tetapi benarkah semua kekayaan itu mampu membuat kita mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, bukankah kebahagiaan itu semu?
        Bila kita berpikir obyektif, pasti kita akan kagum dengan sabda Rosul yang mengatakan bahwa “Kekayaan sejati bukanlah tumpukkan kekayaan materi, melainkan ia adalah tumpukan kekayaan jiwa.” Memang benar demikian, kebahagiaan yang hakiki itu sesungguhnya hanya dapat dibeli dengan kekayaan jiwa, bukan kekayaan harta. Seberapa banyak harta yang kita miliki, tetap saja tidak akan mampu membeli kebahagiaan sejati (kepuasan batin). Sebagaimana pendapat salah satu ahli fikir barat :
WHAT MONEY WILL BUY....
A BED BUT NOT SLEEP
BOOKS BUT NOT BRAINS
FOOD BUT NOT APPETITE
FINERY BUT NOT BEAUTY
A HOUSE BUT NOT A HOME
MEDICINE BUT NOT HEALTH
LUXURIES BUT NOT CULTURE
A MUSEMENTS BUT NOT HAPPINES
RELIGION BUT NOT SALVATION
          Dan itu semua sudah banyak buktinya, kita bisa melihat bagaimana seorang hartawan, pengusaha sukses Austria Carl Raberder merasa harta yang dimiliki tidak memberikan kebahagiaan, akhirnya semua hartanya diberikan kepada yayasan sosial. Bagaimana orang-orang kaya, tetapi rumah tangga berantakan, tidak ada kebahagiaan. Tetapi banyak juga orang yang hidup pas-pasan secara materi, tetapi hidupnya dipenuhi dengan senyum kebahagiaan.
Sekarang coba kita renungkan pula kebenaran sebuah ungkapan berikut : “Merasa puas terhadap apa yang diperoleh, membuat orang fakir seolah kaya-raya. Sedangkan serakah, dapat membuat orang kaya seolah-olah fakir.”
Sehingga untuk semua sahabat, manusia adalah makhluk yang menginginkan kebahagiaan. Karena itu, janganlah kita tertipu dengan harta kekayaan. Karena harta kekayaan itu bukanlah sumber kebahagiaan, mereka hanyalah alat kebahagiaan saja. Jika manusia tidak bisa menggunakan dan mengelolanya dengan baik, maka manusia tidak akan mencapai apa yang namanya sebuah kebahagiaan jiwa, sebuah kebahagiaan hakiki setiap manusia.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal-amal yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya disisi Rabb-mu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Q.S Al Kahfi : 46)

Minggu, 16 Februari 2014

INTERVENSI ABRI MASA ORDE BARU Dan PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM POLITIK ORDE BARU (Sebuah Tulisan Sebagai Wujud Pembelajaran Dari Sejarah)

Sejarah ABRI masuk dalam Politik Orde Baru
1.      Jalan Tengah AH Nasution
ABRI masuk dalam kehidupan politik berawal dari kebutuhan Soekarno akan dukungan politik dalam usahanya mencapai dominasi politik di Indonesia. Keinginan tersebut sejalan dengan keinginan pimpinan ABRI untuk berperan lebih besar dalam kehidupan politik Indonesia.[1] Hal ini dikarenakan ketidakstabilan politik selama dasawarsa 1950an, memanasya hubungan Indonesia Belanda akan masalah Irian Barat, keterpurukan ekonomi dimana inflasi sangat tinggi, membuat ABRI tergerak untuk berperan lebih besar dalam kehidupan social politik. Dengan kesesuaian antara keinginan Soekarno dan pimpinan ABRI, maka ABRI menjadi salah satu kekuatan politik utama masa Soekarno, selain PKI. Dimana pada thn 1957, ABRI dilibatkan dalam Dewan Nasional oleh Soekarno, sebuah dewan penasihat presiden. Hal ini menjai titik awal dan kesempatan ABRI untuk berperan besar dalam dunia sosial politik Indonesia.
Untuk memperkuat peran ABRI dalam kehidupan sosial politik Indonesia, jenderal A.H Nasution melahirkan ide “Jalan Tengah”  pada Dies Natalis AMN (Akademi ABRI Naional) November 1958. Konsepsi ini, pada dasarnya menyatakan bahwa keterlibatan ABRI dalam pembinaan Negara bukanlah untuk mendominasi dan memonopoli kekuasaan, karena hal tersebut bertentangan dengan Saptamarga, tetapi menyangkut keamanan ataupun bidang-bidang lain. Lebih lanjut Nasution mengatakan bahwa ABRI :
…..bukan sekadar “alat sipil” seperti di Negara-negara barat, juga bukan sebuah rejim yang mendominasi kekuasaan Negara, melainkan merupakan salah satu dari kebanyakan kekuatan dalam masyarakat, kekuatan demi perjuangan rakyat yang bekerja bahu-membahu dengan kekuatan-kekuatan lain yang dimiliki rakyat.[2]
Konsepsi ini, dicetuskan Nasution agar ABRI Indonesia yang berasal dari kekuatan-kekuatan rakyat, tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang ggal membawa masyarakat menuju suatu kesejahteraan dan stabilitas. Karena jika sekali terjadi kudeta, maka suksesi kekuasaan akan berlanjut dengan kudeta-kudeta yang selainnya.
2.      Munculnya AD sebagai kekuatan politik riil terkuat
Sejak dicetuskannya ide Jalan Tengah dari Nasution, ABRI mulai mengatur rencana untuk bisa masuk dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Momentum untuk masuknya ABRI, berawal dari keberhasilan ABRI menumpas rencana kudeta PKI. Bahkan PKI dapat ditumpas oleh ABRI sampai keakar-akarnya. Hal ini mengakibatkan hancurnya kekuatan politik PKI di Indonesia, yang telah dibangun sejak zaman sebelum kemerdekaan. Di tahun 1965, sejak runtuhnya PKI dan merosotnya kewibawaan Soekarno akibat kehancuran ekonomi Indonesia, ditandai dengan lengsernya Soekarno. Membuat ABRI, muncul sebagai pemegang kekuatan politik riil terkuat saat itu. Sehingga sejak Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad dan pemimpin operasi penumpasan PKI menggantikan Soekarno sebagai Presiden, maka ABRI mulai memperoleh pencerahan dan jalan lebar untuk terlibat secara aktif dalam sosial politik Indonesia.
Untuk memperkuat kekuatan politiknya, ABRI menerapkan beberapa strategi. Pertama, melakukan pelembagaan dwi fungsi ABRI yang berasal dari ide Jalan Tengah Nasution. Mulai dipertegas di doktrin AD dalam “Tri Udaya Cakti” thn 1965, dipertegas lagi dengan doktrin “Catur Dharma Eka Karma” thn 1967.[3] Bahkan untuk memperkuat landasan dwifungsi ABRI, dikeluarkanlah UU/1982 No.20 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Dimana pada pasal-pasalnya, disebutkan bahwa “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial”. Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi ABRI, melalui reorganisasi di lingkup seluruh matra : AD, AL, AU, dan Kepolisian. Dimana semuanya menjadi di bawah kendali Pengab, sebagai pemegang kekuasaan tunggal atas operasi dan administrasi ABRI. Kekuatan panglima pada tiap matra menjadi berkurang tanpa memiliki wewenang operasional, yang hanya berstatus “Kepala Staf Angkatan”.[4] Dengan adanya langkah-langkah strategis dari ABRI tersebut, maka dominasi ABRI dalam dunia sosial politik Indonesia menjadi lebih dominan, bahkan menghegemoni.

    II.          Persebaran Kekuatan / Intervensi ABRI dalam Sistem Politik Orde Baru
Kekuatan politik ABRI dalam kehidupan sosial politik Indonesia tidak bisa dikatakan hanya “intervensi”. Karena dengan melihat persebaran kekuatan dan intervensinya dalam sistem politik Indonesia, mulai terhadap lembaga eksekutif, terhadap lembaga legislatif, terhadap masyarakat sipil (orsospol, ormas dan budaya), maka ABRI bisa dikatakan menghegemoni kekuatan atau sistem politik Indonesia. Untuk melihat persebaran kekuatan atau intervensi ABRI di Indonesia, akan diuraikan di bawah ini :
1.      ABRI terhadap lembaga Eksekutif
Ø  Dalam susunan kabinet Pembangunan
Jumlah anggota ABRI yang masuk dalam kabinet pembangunan relatif besar. Selain kuantitas, secara kualitas, anggota ABRI juga menempati posisi strategis dalam kabinet pembangunan. Bahkan di tahun 1981, 10 orang menjadi menteri koordinator, 8 orang menjabat menteri mengepalai departemen, dan 2 orang menjabat sebagai menteri Muda.[5]
Jumlah Personal Militer dalam Kabinet Awal Orba[6]
KABINET
JUMLAH DEPARTEMEN
% MILITER
JUMLAH NOMINAL
Ampera dan Eselon I
20
46,40
52
Pembangunan I dan Eselon I
18
39,17
41
Pembangunan II dan Eselon II
17
39,65
46
Pembangunan III dan Eselon
17
44,99
55
Keterangan: Dalam bagian ini, Departemen Pertahanan dan Keamanan tidak diikutsertakan Sumber            :Dharmawan Ronodipuro, 1986, 4-6
Jumlah Personal TNI dalam Kabinet Pembangunan[7]
KABINET
UNSUR MILITER
% MILITER
JUMLAH NOMINAL
Pembangunan I
8
34
23
Pembangunan II
6
24
25
Pembangunan III
15
45
33
Pembangunan IV
17
42
40
Pembangunan V
14
34
41
Pembangunan VI
10
24
42
Sumber: Mulyana W. Kusumah, Kompas, 4 Mei 1995; 4
Ø  Birokrasi
Begitu pula dominasinya dalam birokrasi relatif besar, ABRI menguasai kepala daerah, mulai tingkat I (Gubernur) sampai tingkat II (Walikota atau Bupati), menempatkan anggotanya menjadi duta besar, menjabat pejabat2 tinggi dalam birokrasi sampai tingkat bawah. Penempatan ABRI di daerah-daerah tidak hanya didaerah rawan, tetapi juga di daerah-daerah yang relatif stabil. Di Jawa Tengah, Lampung, KalBar, SulUt yang daerahnya relatif stabil gubernurnya justru berasal dari ABRI. Sedangkan di daerah rawan seperti Aceh, Timor-Timor dan Irian Jaya, Gubernurnya justru dipegang oleh sipil.[8]  Tetapi untuk daerah rawn tersebut, kepala daerah tingkat II tetap diisi oleh ABRI, sehingga secara politik terkesan bahwa sipil yang memegang daerah tersebut, padahal secara riil di bawah ABRI tetap menghegemoni. Untuk lebih jelasnya penguasaan ABRI terhadap birokrasi mulai pusat sampai daerah, kita bisa melihat tabel di bawah ini :
Tabel    Jumlah Anggota TNI dan Polisi di Luar Bidang Hankam[9]
No
Jabatan/Penggolongan
    1977/Mei
1980/November

1
2
3
4
5
6
Pusat Pemerintahan
Menteri/Pimpinan lembaga tinggi
Sekretaris Jenderal
Inspektur Jenderal
Direktur Jenderal
Kepala lembaga non-departemen
Sekr./Asisten Menteri (setingkat)


17 (42,5%)
14 (73,6%)
18 (29,5%)
15 (78,9%)
8 (44,4%)
21 (84%)

19 (47,5%)
14 (73,6%)
18 (29,5%)
15 (78,9%)
8 (44,4%)
21 (84,0%)


Jumlah
76 (53,5%)
76 (53,5%)

7
8
9
Kepala Daerah
Gubernur
Bupati
Walikota


19 (70,3%)
136 (56,4%)
19 (31,6%)

19 (70,3%)
137 (56,6%)
20 (33,3%)

10
11
12
Luar Negeri
Duta Besar
Kuasa Usaha
Konsul Jenderal


24 (41,0%)
1 (50,0%)
4 (25,0%)

28 (44,4%)
1 (50,0%)
4 (25,0%)


Jumlah
31 (31,9%)
35 (34,3%)

1
2
3
4
Sumber
Angkatan Darat
Angkatan Laut
Angkatan Udara
Kepolisian


17.004
926
698
2.490

12.873
823
777
2.357
Sumber data: Nugroho Notosusanto, 1984, 378-9
Penguasaan ABRI mulai pusat sampai daerah dalam birokrasi masa orde baru, membuatnya menjadi pengendali kebijakan pembangunan Indonesia dan pengkontrol efektif stabilitas politik di daerah. Hal ini menjadikan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah menjadi seperti harus melalui jalur komando dari atas sampai bawah.

2.      ABRI terhadap lembaga Legislatif
Ø  Mekanisme masuknya ABRI dlm legislatif
ABRI tidak hanya memasuki dan menguasai di lembaga eksekutif, untuk mengendalikan agar kebijakan berdasarkan kontitusi, maka ABRI juga melakukan penguasaan terhadap lembaga legislatif, yaitu DPR dan MPR. Untuk masuk dalam lingkungan legislatif, ABRI tidak perlu susah-susah untuk ikut dalam Pemilu, karena ia memanfaatkan pasal 2 UUD 1945 akan utusan daerah sebagai salah satu anggota legislatif. Sehingga tidak ada kompetisi yang fair untuk menjai wakil rakyat di parlemen (ABRI dengan tanpa hambatan bisa masuk ke parlemen).
Sebenarnya kalau kita lihat dari kelayakannya, apakah ABRI layak disebut sebagai utusan daerah? ABRI sebagai perwujudan dari kekuasan pemerintahan/negara, menjadi golongan yang layak disebut badan kolektif (utusan daerah yang dimaksud dalm UUD 1945 adalah serikat buruh, koperasi dan badan kolektif lainnnya).
Ø  Komposisi ABRI dlm legislatif
Tabel VII.1 Jumlah Anggota FTNI/PoIri dl DPR/MPR, 1971-1999
Pemilu
Jumlah
Aggota DPR
Jumlah
Anggota DPR
Dari TNI/Polri
AnggotaMPR
Dari TNI/PoIri
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
460
460
460
500
500
500
500
920
920
920
1000
1000
1000
700
75(16)
75(16)
75(16)
100(20)
100(20)
75(15)
38(7)
155(16)
155(16)
155(16)
151 (15)
150(15)
113(11)
3815)
Sumber: Hari'an Kompas, 13 Agusrus 2000. hal. 3.
ABRI dalam legislatif tidak hanya menjadi anggota saja, melainkan menguasai ketua DPRD di daerah2.  Seperti di Timor2, dari 13 ketua DPRD II 7 diantaranya dijabat oleh ABRI, di Lampung, 2 dari 3 ketua DPRD II dijabat ABRI, untuk Bali masih seimbang, 3 ABRI 3 sipil. Banyaknya anggota ABRI yang menjabat ketua DPRD, mengakibatkan masyarakat takut untuk datang ke DPRD, karena penggunaan konsep stabilitas pada mekanisme kerjanya. Dan konsep rantai komandonya, mengakibatkan kepentingan korps akan lebih dipentingkan dari pada kepentingan masyarakat.

3.      ABRI terhadap Masyarakat Sipil
a.      Orsospol dan Ormas
Ø  Orsospol
o   Keterlibatan dalam GOLKAR
ABRI juga melakukan intervensi terhadap kekuatan masyarakat sipil, salah satunya adalah dengan membentuk Sekber Golkar. Dengan membidani pembentukan sekber Golkar, membuat ABRI menjadi lebih terbuka untuk masuk dalam dunia sosial politik. Golkar saat itu bukanlah sebagai partai politik, melainkan sebagai ormas. Tetapi sekber Golkar sebagai ormas dapat ikut pemilu melawan partai politik. Pembentukan Golkar, merupakan efek dari ketidakpercayaan orde baru terhadap partai politik. Karena di masa Soekarno, terjadi instabilitas politik yang parah, bahkan membuat kondisi ekonomi menjadi hancur, inflasi sampai 600%. Dimana kondisi tersebut, dianggap sebagai ketidakmampuan partai politik dalam memegang pemerintahan. Karena itulah dibentuklah Golkar sebagai wadah ABRI untuk dapat berjuang di perpolitikan.
Sekber Golkar dibentuk oleh ABRI untuk mengimbangi kekuatan-keuatan komunis dan organisasi yang berafiliasi di bawahnya. Karena itu, Sekber Golakr merupakan gabungan dari ormas-ormas bentukan ABRI, seperti MKGR, Soksi, Kosgoro dengan organisasi lain, seperti 53 organisasi serikat buruh yang disponsori militer dan pegawai negeri, 10 organisasi profesi, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, ABRI sendiri (AD, AL, AU dan Polri), 5 oranisasi wanita, 4 organisasi media massa, 2 organisasi petani dan nelayan serta 9 organisasi lainnya. Kesemuanya itu bergabung dalam Sekber Golkar dalam naungan ABRI di dalamnya.[10]
Pada tahun 1966, karena dianggap terlalu gemuk secara keorganisasiannya, dilakukan reorganisasi terhadap Sekber Golkar. Dalam reorganisasi tersebut, Sekber Golkar akan menjai sebuah badan federasi yang dikelompokkan dalam 9 kino (kelompok induk organisasi). pada saat itu pula, Sekber Golkar diubah menjadi fungsinya dari sekedar ormas menjadi Orsospol baru.[11] Dimana dari kepengurusan sekber yang baru, kesemuanya diduduki oleh ABRI kecuali satu, yaitu Drs.Sumiskun sebagai ketua salah satu kino Gerakan Pembangunan. Hal ini menujukkan bagaimana dominasi ABRI dalam tubuh Golkar sendiri.

o   Intervensi terhadap orsospol lawan
ABRI dalam intervensinya terhadap orsospol lawan, cara yang digunakan adalah pertama, yaitu dengan menggunakan strategi ikut dalam penentuan kepengurusan orsospol, memasukkan orang parpol yang berpihak pada ABRI untuk menjadi ketua dan pengurus penting partai. Misalnya pada tahun 1970, ABRI merencanakan pergantian ketua PNI Osa Maliki yang meninggal dengan Hadisubeno sebagai pendukung ABRI, padahal massa PNI di Jawa lebih mendukung Hardi. Hal ini juga dilakukan ketika pemilihan ketua Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada 1968. Bahkan di tahun 1996, ABRI memanfaatkan konflik internal PDI dengan merencanakan dan memprakarsai Kongres Medan untuk menjatuhkan Megawati sebagai ketua umum. Seluruh ketua DPD dan DPC PDI di berbagai daerah di panggil oleh komandan kodim dan komandan korem. Mereka di briefing agar sepakat dan mendukung kongres medan yang bertujuan untuk menjatuhkan Megaawati dengan memberikan fasilitas transport dan membiayai seluruh akomodasinya.[12]
Kedua, dengan pemberlakuan floating mass, yaitu dengan melarang partai politik membangun jaringan politik di tingkat bawah, atau masyarakat dilarang melakukan aktifitas politik selain saat pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali.[13] Oleh karena itu parpol dilarang memilii keterwakilan sampai tingkat desa atau kecamatan, hanya boleh sampai tingkat kabupaten. Sehingga mengakibatkan keterputusan komunikasi dengan massa akar rumput partai.
Selain itu, ABRI juga mengunakan cara intervensi kegiatan dengan tidak memberikan izin keamanan kepada partai politik lawan untuk melakukan konsolidasi. Seperti yang terjadi pada PPP di Aceh, PPP dipersulit mendapat ijin untuk melaksanakan seminar partai, disisi lain Golkar diberi kemudahan ijin untuk melakukan kegiatannya.
Ø  Ormas
Dalam Ormas ABRI lebih banyak menggunakan kekuatannya untuk memasukkan orang2nya dalam ormas-ormas yang ada atau dengan membentuk ormas sendiri. Untuk masalah kepemudaan, ABRI memiliki FKPPI, memiliki Dharma Pertiwi yang dikelola istri-istri anggota ABRI, serta organisasi yang dikelola purnawirawan. Bahkan di daerah rawan seperti Timor-Timor, terdapat ormas yang secara khusu dibentuk dan dibina oleh kopassus, yakni Gardha Paksi.[14]
b.      Social dan Budaya
Intervensi ABRI terhadap system politik Indonesia, termasuk dalam aspek budaya massyarakat Indonesia. Dalam hal ini akan dibahas mengenai aspek keagamaan, perizinan dan pers, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi budaya politik di Indonesia saat itu.
Ø  Keagamaan
Intervensi dalam bidang keagamaan salah satunya adalah dengan pengeluaran UU perkawinan oleh Ali Moertopo, yang dianggap melakukan upaya sekulerisasi terhadap umat Islam, dimana perkawinan dikatakan sah jika melalui catatan sipil.[15] Hal ini mendapatkan perlawanan keras dari umat Islam.
Dimana selanjutnya UU perkawinan tersebut diganti dengan UU yang baru pada tahun 1973 yang disahkan oleh Soetopo Joewono dan Bakin, dimana perkawinan sah jika dicatat dalam catatan sipil yang diperoleh di KUA dengan syarat-syarat Islami.
Selain masalah tersebut, anggota ABRI di daerah-daerah banyak masuk dalam lingkungan pondok pesantren dan menjadi Pembina bagi organisasi-organisasi Islam di daerah. Sehingga mereka dapat melakukan control terhadap kekuatan-kekuatan umat Islam di daerah dan akar rumput. 
Ø  Perizinan dan pers
Intervensi ABRI terhadap bidang perijinan dalam hal mengenai masalah izin penerbitan, merupakan imbas dari UU Darurat Perang tahun 1957 oleh Nasution. Dalam UU ini, pers dilarang menerbitkan hal-hal yang mengancam stabilitas nasional. Jika terdapat tulisan yang mengancam stabilitas nasional, maka wartawannya akan ditahan dan penerbitnya akan dibredel.Salah satu contoh kasusnya adalah penahanan terhadap Mochtar Loebis, salah satu wartawan senior masa itu.[16]
Perilaku ABRI dengan UU tersebut sebenarnya bisa dikatakan salah tempat, karena UU tersebut merupakan UU Darurat Perang, yang digunakan dalam konteks Negara dalam bahaya, bukan dalam keadaan Negara yang stabil atau tidak dalam kontes bahaya atau perang.  Bahkan pada tahun1966-1978, intervensi terhadap pers semakin kuat, pers dikontrol ketat. Koran-koran yang akan terbit harus mendapatkan ijin dari Kopkamtib saat itu. Jika melanggar, terdapat 2 tahapan penyikapan militer, pertama dengan pemberitahuan lewat telepon kalau berita “X” tidak boleh dimuat, kedua dengan melakukan pembredelan.
 III.            Pengaruhnya terhadap Sistem Politik Orde Baru
Dengan kondisi yang demikian hegemoniknya militer terhadap system politik Indonesia masa orde baru, baik di dalam lembaga legislative, lembaga eksekutif, maupun dalam orsospol/ormas dan social budaya masyarakat, sangat mempengaruhi dalam membentuk karakteristik system politik masa itu yang mengarah pada otoritarian. Bagaimana kebijakan dan aturan-aturan muncul sebagai output dari proses politik, bukan berasal dari kebutuhan rakyat. Rakyat diintervensi atau dikooptasi kekuatannya, agar tidak bisa macam-macam terhadap rencana rejim dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia. Bahkan secara proses dari kebijakan tersebut, mulai dari lembaga legislative dan eksekutif dihegemoni oleh kekuatan militer rejim. Berikut akan diuraikan mengenai system politik pada masa itu akibat dari intervensi militer di era orde baru, mulai bagaimana input akan suatu kebijakan berasal, bagaimana mekanisme atau proses pengeloplaan input sampai pengeluaran kebijakannya.
1.      Input
Input merupakan sumber-sumber dari kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Di masa orde baru, dimana masyarakat secara kekuatan politik di kerdilkan atau dikooptasi oleh rejim militer, membuat masyarakat tidak bisa menyalurkan aspirasinya. Bagaimana orsospol lawan dari rejim militer yang tidak boleh membangun kekuatannya di basis akar rumput, membuat aspirasi masyarakat tidak bisa tersalurkan dengan bebas. Bahkan di DPRD pun anggota dan ketua DPRD banyak beranggotakan dari militer, yang membuat suara rakyat sulit didengar, karena akan lebih mementingkan kepentingan korps. Dengan kondisi demikian, dalam social budaya secara kebebasan pers, juga ikut dibatas. Hal ini semakin membuat, masyarakat tidak bisa berkutik untuk menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah. Sehingga suara rakyat sebagai salah satu input kebijakan pemerintah, sulit untuk didengarkan, bahkan tidak bisa. Input kebijakan harus berasal dari 1 kehendak, yaitu pimpinan rejim miilter itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah Presiden Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI. 
2.      Proses
Dalam proses pembuatan kebijakanpun, militer lagi-lagi menghegemoni kekuatan di legislative dan eksekutif sebagai lembaga-lembaga politik pemroses suara rakyat atau pembuat kebijakan. Di orde baru, lembaga legislative dikuasai oleh rejim militer, dimana anggota parlemen terdiri dari militer dan wakil dari golkar (partai rejim saat itu). Sehingga aturan-aturan sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan, dapat dibuat sesuai kehendak pimpinan rejim militer. Kekuatan rakyat dalam parlemen tidak bisa berbuat apa-apa, karena intimidasi militer yang dilakukan diluar parlemen. Sehingga mereka tidak berani untuk bersuara, menuruti apa kata pimpinan rejim (apa kata “bapak”). Apalagi kekuatan pers, sebagai pengontrol dalam proses politik membuat kebijakan juga dilucuti kekuatannya.
Bagaimana dengan hegemoni militer ddalam legislative, diikuti juga di dalam lembaga eksekutif baik mulai tingkat pusat sampai daerah. Sehingga membuat satu kebijakan yang akan dikeluarkan tersentralkan atau berdasarkan perintah dari pusat (pimpinan rejim militer). Sehingga proses politik dalam membuat kebijakan berjalan satu arah, tidak ada system chek and balance.
Rakyat dengan intimidasi militer, dan pengkontrolan militer terhadap ormas-ormas dan lembaga keagamaan di daerah, membuat masyarakat sipil sebagai salah satu kekuatan demokrasi dalam proses politik menjadi mandul, tidak memiliki kekuatan sama sekali.  
3.      Output
Dari input politik yang tidak berasal dari rakyat, dan proses politik yang satu arah, tidak ada unsure chek and balance. Secara otomatis berakibat dari kebijakan-kebijakan yang ditimbulkan tidak bersal dari kehendak masyarakat, kebijakan berasal dari keinginan pimpinan rejim. Antara lain bisa kita lihat, bagaimana keijakan pengeluaran UU perkawinan diatas. Dimana pengeluaran UU tersebut oleh Ali Moertopo, hanyalah digunakan sebagai alat politik rejim untuk mengontrol umat Islam. Bahkan walaupun diganti dengan UU perkawinan yang baru, itupun hanya bertujuan untuk memperhalus cara rejim untuk mengkontrol kekuatan umat Islam. Dengan perkawinan umat Islam yang tercatat dalam catatan sipil, dapat berefek pada terpetakannya persebaran dan laju regenerasi kekuatan umat Islam. Juga kebijakan dalam pemilu, dalam pers, membuat rakyat tidak bisa bebas berpartisipasi dalam kegiatan politiknya.

 IV.            Kesimpulan
Sehingga dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya intervensi ABRI yang hegemonic dalam system politik masa orde baru, baik di legislative, eksekutif, dan dalam amsyarakat sipil seperti orsospol dan ormas, serta social budaya masyarakat. Mengakibatkan system politik masa orde baru memiliki karakteristik yang otoriter. Bagaimana militer mengebiri kekuatan rakyat untuk menyuarakan dan menuntut hak-haknya, membuat rakyat tidak bisa apa-apa, rakyat menjadi takut dan tidak berkembang secara pemikiran dan kedewasaan politiknya.
Daftar Pustaka
1.      Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998.
2.      A.H. Nasution, Kekaryaan ABRI, Jakarta : Seruling Masa, 1971.
3.      Yulianto Dwi Pratomo, “ABRI & Kekuasaan”, puncak-puncak krisis hubungan sipil-ABRI di Indonesia, Yogyakarta : NARASI, 2005. Hal 38-39.
4.      John A. MacDougall, “Patterns of Millitary Control in The Indonesian Higher Central Bureaurency”, dalam The Indonesia, no.33, Cornell University, 1982.
5.      Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
6.      Suryadinata Leo, GOLKAR DAN MILITER, studi tentang Budaya Politik, Jakarta :LP3ES, 1992. Hal 13-18
7.      DPP Golkar, Laporan Golkar 1973, op.cit, hal.87.
8.      Tim ISAI, Megawati : Pantang Surut Langkah, Jakarta : ISAI, 1996.
9.      Rais, Amien, “Golkar dan Demokratisasi di Indonesia”, Yogyakarta : PPSK dan Aditya Media, 1993.  
10.  Crouch Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
11.  Lubis Mochtar, Catatan Subversif, Jakarta : Sinar Harapan, 1980






[1] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 87-88
[2] A.H. Nasution, Kekaryaan ABRI, Jakarta : Seruling Masa, 1971.
[3] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 94
[4] Yulianto Dwi Pratomo, “ABRI & Kekuasaan”, puncak-puncak krisis hubungan sipil-ABRI di Indonesia, Yogyakarta : NARASI, 2005. Hal 38-39.
[5] John A. MacDougall, “Patterns of Millitary Control in The Indonesian Higher Central Bureaurency”, dalam The Indonesia, no.33, Cornell University, 1982.
[6] Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
[7] Ibid
[8] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 107
[9]  Bahan kuliah MK. Militer PM Al Kahfi, Aribawa, “Militer di Panggung Politik Indonesia”.
[10] Suryadinata Leo, GOLKAR DAN MILITER, studi tentang Budaya Politik, Jakarta :LP3ES, 1992. Hal 13-18
[11] DPP Golkar, Laporan Golkar 1973, op.cit, hal.87.
[12] Tim ISAI, Megawati : Pantang Surut Langkah, Jakarta : ISAI, 1996.
[13] Rais, Amien, “Golkar dan Demokratisasi di Indonesia”, Yogyakarta : PPSK dan Aditya Media, 1993. Hal xiii
[14] Dr. Indria Samego et al, “…Bila ABRI Menghendaki”, Bandung : Mizan, 1998. Hal 118-119
[15] Crouch Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
[16] Lubis Mochtar, Catatan Subversif, Jakarta : Sinar Harapan, 1980