.jpg)
Kita juga bisa
melihat bagaimana para caleg juga berlomba-lomba untuk turun ke masyarakat
sampai tingkat RT untuk merebut simpati mereka. Mulai dengan melakukan
pengaspalan di gang-gang kecil, sebagai bentuk wujud “kepedulian” mereka
terhadap warga, melakukan ziaroh wali songo kepada kelompok pengajian, melakukan
pemeriksaan kesehatan gratis, memberikan sembako, memberi kompor gas ke warga
miskin, dan banyak sekali. Bahkan kalau kita berada di jalan, kita akan melihat
foto-foto caleg dan logo partai ditempel dimana-mana, tiang listrik, batang
pohon, tembok rumah, warteg, bahkan di angkotpun juga ada.
Yang lucu
adalah, mereka para tim sukses partai dan caleg senantiasa kejar-kejaran dengan
panwaslu dan satpol PP. Berdasarkan keterangan orang panwaslu, ketika penulis
daftar menjadi sukarelawan panwas, ketika malam hari baliho, poster, dan
spanduk para caleg dan partai yg melanggar aturan dibersihkan, seperti yg ada
di pohon dan jalan-jalan protokol, sehari berikutnya baliho dan poster tersebut
akan bermunculan lagi. Sehingga membuat panwas dan satpol PP kecapekan sendiri,
dan dengan keterbatasan tenaganya, akhirnya pelanggaran tersebut dibiarkan
saja. Yah, itulah proses pemilu kita sebagai bagian proses berdemokrasi dalam
politik.
Sebenarnya
sebagai rakyat biasa yang mengamati kondisi politik bangsa Indonesia, ada
kebanggaan dan kesedihan yang penulis rasakan. Mengapa? Pertama, penulis bangga
dengan proses kedewasaan rakyat Indonesia dalam berdemokrasi. Dengan banyaknya
parpol dengan berbagai macam aliran ideologi berbangsa seperti Nasionalis,
Islami tradisi, Islam modernis, islam fundamental, dan Sekuler, secara umum
pemilu ini bisa berjalan lancar tanpa ada kekacauan yang berarti, suatu kondisi
yang jarang terjadi negara lain. Bahkan dalam beberapa RW di Jaksel yang pernah
penulis telusuri, terdapat 1-5 RT adalah wilayah basis parpol islam tertentu,
RT yang lain berbasis parpol Nasionalis, dan dalam proses kampanye ya baik-baik
saja, tidak ada gesekan antar warga. Kedua, masyarakat Idonesia terutama yang
di perkotaan, juga sudah mulai bisa menilai mana yang baik dan yang tidak.
Bahkan mereka sudah menyadari kalau pemilu itu sebagai ajang menghukum pemimpin
yang korupsi dan hadiah bagi pemimpin yang amanah. Makanya kita bisa melihat
dari beberapa quick count dari lembaga survei, partai penguasa seperti Demokrat
yg terkena badai korupsi, suaranya turun drastis dari 20% ke 9%-10%, PKS dari
8% turun ke 6%-7%, PDI-P, Gerindra, PKB, sebagai partai yang jauh dari isu
korupsi, suaranya naik drastis. Kalau kita amati lagi, kedewasaan masyarakat
kita bisa dilihat dari banyaknya caleg yang stress karena gagal mendapat
dukungan. Hal ini menandakan bahwasannya masyarakat ketika dikasih uang atau
barang oleh caleg tersebut (dimana besar harapan caleg untuk dipilih ketika
sudah “memberi”), mereka hanya menerima, tetapi tidak memilihnya. Walau penulis
sendiri belum tahu pasti kenapa tidak sampai dipilih, apakah memang karena ada
caleg lain yg memberi lebih besar, atau tidak percaya terhadap caleg tersebut.
Tetapi minimal, ternyata tidak semua masyarakat dapat dibeli oleh uang, tidak semua
masyarakat bersikap pragmatis. Mungkin ini menjadi sebuah harapan bagi
“pejuang” bangsa untuk terus optimis bisa melakukan perubahan, dengan sikap
masyarakat yg tidak semuanya pragmatis.
Selain bangga,
ada juga kesedihan yang dirasakan, pertama, tingkat golput yang masih tinggi,
berdasarkan survei LSI dari hitung cepat, angka golput pada pemilu 2014
berkisar pada angka 34,02%, lebih tinggi dari pada pemilu legislatif 2009 yang 29,01%.
Walaupun ada beberapa sebab tingginya golput, seperti masalah administratif,
masalah tekhnis, ataupun masalah politis. Hal ini menunjukkan beberapa hal,
yaitu dari sisi KPU yang belum bisa menjamin dan menjangkau hak memilih
masyarakat dalam DPT atau DPK, sehingga banyak yg tidak terdaftar dan tidak
bisa memilih ketika hari H. Dari sisi warga, ternyata masih banyak yang belum
mempercayai sepenuhnya institusi politik untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakat, dengan sengaja untuk tidak datang ke TPS atau mencoblosi semua
gambar partai. Bagaimana sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik, jika
penyelenggaranya kurang maksimal dan partisipasi warga terhadap pemilu sangat
rendah, 1/3 golput, itu sangat mengkhawatirkan keberlangsungan demokrasi itu
sendiri. Seharusnya tingginya angka golput, harus menjadi cambuk bagi caleg terpilih
dan partai politik, untuk menjalankan fungsi mereka dengan penuh amanat dan
bertanggungjawab.
Kedua,
penulis merasa sedih dengan cara kampanye dan pendekatan peserta pemilu yang
kurang memberikan pendidikan politik kepada warga. Kita bisa melihat bagaimana
para partai dan caleg ketika kampanye akbar di beberapa daerah, cenderung
mengedepankan atau menonjolkan sesi hiburan, seperti dangdut yang seronok, atau
yang selainnya kepada massa. Seharusnya mereka mengutamakan penjabaran visi
misi dan membuka tanya jawab kepada khalayak agar terjadi interaksi ketika
kampanye. Bagaimana partai dan caleg hanya ramai turun mendekati warga, dengan
alasan untuk “menjaring aspirasi” hanya ketika menjelang pemilu saja. Lantas
selama ini kalian kemana saja ketika masyarkat memiliki keluhan terhadap
masalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi mereka??? Sehingga jangan
menyalahkan masyarakat, ketika mereka menuntut pemberian uang atau barang
kepada caleg2 yang datang ke mereka.
Seandainya
saja, partai-partai menjalankan fungsi pendidikan politik ke warga, caleg dan
wakil rakyat incumbent senantiasa turun ke masyarakat, maka rakyat akan semakin
dewasa dalam berpolitik. Ide-ide dari rakyat akan senantiasa mengalir ke
wakilnya, sehingga wakilnya bisa memperjuangkan ke DPR. Degngan begitu
interaksi pemikiran, interaksi evaluasi kebutuhan dan kelemahan program
masyarakat akan senantiasa terjadi dan sehingga akan terus mengalami perbaikan
di tingkat kebijakan dan implementasi ke bawah. Semoga saja kondisi ini akan
terjadi di negara kita.
Ok lah,
sekarang pileg telah selesai dengan hasil berdasarkan quick count 2014 versi LSI untuk 10 besar perolehan suara tertinggi:
1.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP): 19,53%;
2.Partai Golongan Karya (Golkar): 15,43% ; 3.Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra): 11,76% ; 4.Partai Demokrat: 10,32% ; 5.Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB): 9,40% ; 6.Partai Amanat Nasional (PAN): 7,38% ; 7.Partai Persatuan
Pembangunan (PPP): 6,91% ; 8.Partai Keadilan sejahtera (PKS): 6,21% ; 9.Partai
Nasional Demokrat (NasDem): 6,01% ; 10.Partai
Hanura: 5,31%. Hal ini menunjukkan bagaimana rakyat tidak mempercayai incumbent
(penguasa sebelumnya/demokrat), dengan lebih memberi kesempatan kepada PDI-P,
Gerindra, Golkar untuk mengatur bangsa Indonesia 5 tahun kedepan.
Sebenarnya,
apapun hasil pemilu, siapapun yang menang, entah itu partai nasionalis, partai
Islam, atau partai sekuler. Hanya 1 harapan penulis sebagai rakyat Indonesia,
yang mungkin memiliki harapan yang sama dengan rakya Indonesia lainya,
bagaimana caleg, partai dan pemimpin yang terpilih bisa meninggalkan
kepentingan keluarga, kepentingan golongan / partai, demi kepentingan bersama
bangsa Indonesia yaitu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia,
menjamin hak-hak dasar masyarakat Indonesia untuk beragama, berserikat,
berpendapat, memperoleh pendidikan dan perawatan kesehatan yg layak, serta hak
untuk hidup layak.
Apalah
arti parpol bisa menang 20%, 30%, bahkan 51%, jika ketika mereka berkuasa hanya
untuk memajukan kepentingan golongan dan keluarganya saja. Jika masih banyak
rakyat yang tidak memperoleh pendidikan, dan kesehatan, jika rakyat harus
bersusah payah untuk mencari makan dan hidup di negaranya sendiri. Karena pada
dasarnya politik itu adalah alat dan sistem untuk menciptakan kesejahteraan dan
pemerataan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara, bukan alat atau sistem
untuk mengeruk sumber daya negara demi kepentingan pribadi dan golongan.
Semoga
pemilu 2014 ini mejadi titik balik bangsa Indonesia untuk mengalami progres dan
kemajuan menuju sebuah bangsa yang kuat dan sejahtera serta menjadi bangsa yang
aman bagi semua golongan untuk hidup bermasyarakat. Kepada para caleg yang
terpilih nantinya, sebagai rakyat, saya mendoakan agar kalian semua menjadi
orang yang amanat, karena apa yang kalian lakukan di parlemen, akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jadikanlah jabatan politik tersebut,
sebagai lahan bagi kalian untuk berkompetisi memberikan amalan yang terbaik
dengan memajukan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar