Selasa, 15 April 2014

Suara Rakyat Pasca Pileg 9 April 2014

Selesai sudah hajatan politik nasional tahap pertama, yaitu pileg tanggal 9 April 2014. Suatu proses sistem demokrasi untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD. Ketika genderang kompetisi ditabuh oleh KPU, semua partai dan caleg berlomba-lomba memperkenalkan dirinya ke masyarakat dengan berbagai cara untuk dipilih, mulai cara yang halal dan legal, sampai cara yang haram dan ilegal (melanggar aturan KPU) pun digunakan. Kita bisa melihat bagaimana rata-rata partai berlomba-lomba menarik ribuan massa dengan menggunakan artis dangdut dalam kampanyenya. Ya kita ambil sisi positifnya lah, mungkin mereka ingin memberikan sedikit hiburan kepada massa, setelah mereka “dipaksa” mendengarkan orasi dan janji2 politik mereka, yg mungkin massa juga tidak paham, tidak menghiraukan apa yg diomongkan oleh jurkam. Dengan adanya lagu dan goyang dangdut tersebut, bisa memberikan hiburan bagi mereka. Pun untuk mendatangkan massa, berbagai cara dilakukan, entah dengan iming2an dorprise, uang transport dan sebagainya, yang penting ada massa untuk mendengarkan kampanye mereka.
Kita juga bisa melihat bagaimana para caleg juga berlomba-lomba untuk turun ke masyarakat sampai tingkat RT untuk merebut simpati mereka. Mulai dengan melakukan pengaspalan di gang-gang kecil, sebagai bentuk wujud “kepedulian” mereka terhadap warga, melakukan ziaroh wali songo kepada kelompok pengajian, melakukan pemeriksaan kesehatan gratis, memberikan sembako, memberi kompor gas ke warga miskin, dan banyak sekali. Bahkan kalau kita berada di jalan, kita akan melihat foto-foto caleg dan logo partai ditempel dimana-mana, tiang listrik, batang pohon, tembok rumah, warteg, bahkan di angkotpun juga ada.
Yang lucu adalah, mereka para tim sukses partai dan caleg senantiasa kejar-kejaran dengan panwaslu dan satpol PP. Berdasarkan keterangan orang panwaslu, ketika penulis daftar menjadi sukarelawan panwas, ketika malam hari baliho, poster, dan spanduk para caleg dan partai yg melanggar aturan dibersihkan, seperti yg ada di pohon dan jalan-jalan protokol, sehari berikutnya baliho dan poster tersebut akan bermunculan lagi. Sehingga membuat panwas dan satpol PP kecapekan sendiri, dan dengan keterbatasan tenaganya, akhirnya pelanggaran tersebut dibiarkan saja. Yah, itulah proses pemilu kita sebagai bagian proses berdemokrasi dalam politik.
Sebenarnya sebagai rakyat biasa yang mengamati kondisi politik bangsa Indonesia, ada kebanggaan dan kesedihan yang penulis rasakan. Mengapa? Pertama, penulis bangga dengan proses kedewasaan rakyat Indonesia dalam berdemokrasi. Dengan banyaknya parpol dengan berbagai macam aliran ideologi berbangsa seperti Nasionalis, Islami tradisi, Islam modernis, islam fundamental, dan Sekuler, secara umum pemilu ini bisa berjalan lancar tanpa ada kekacauan yang berarti, suatu kondisi yang jarang terjadi negara lain. Bahkan dalam beberapa RW di Jaksel yang pernah penulis telusuri, terdapat 1-5 RT adalah wilayah basis parpol islam tertentu, RT yang lain berbasis parpol Nasionalis, dan dalam proses kampanye ya baik-baik saja, tidak ada gesekan antar warga. Kedua, masyarakat Idonesia terutama yang di perkotaan, juga sudah mulai bisa menilai mana yang baik dan yang tidak. Bahkan mereka sudah menyadari kalau pemilu itu sebagai ajang menghukum pemimpin yang korupsi dan hadiah bagi pemimpin yang amanah. Makanya kita bisa melihat dari beberapa quick count dari lembaga survei, partai penguasa seperti Demokrat yg terkena badai korupsi, suaranya turun drastis dari 20% ke 9%-10%, PKS dari 8% turun ke 6%-7%, PDI-P, Gerindra, PKB, sebagai partai yang jauh dari isu korupsi, suaranya naik drastis. Kalau kita amati lagi, kedewasaan masyarakat kita bisa dilihat dari banyaknya caleg yang stress karena gagal mendapat dukungan. Hal ini menandakan bahwasannya masyarakat ketika dikasih uang atau barang oleh caleg tersebut (dimana besar harapan caleg untuk dipilih ketika sudah “memberi”), mereka hanya menerima, tetapi tidak memilihnya. Walau penulis sendiri belum tahu pasti kenapa tidak sampai dipilih, apakah memang karena ada caleg lain yg memberi lebih besar, atau tidak percaya terhadap caleg tersebut. Tetapi minimal, ternyata tidak semua masyarakat dapat dibeli oleh uang, tidak semua masyarakat bersikap pragmatis. Mungkin ini menjadi sebuah harapan bagi “pejuang” bangsa untuk terus optimis bisa melakukan perubahan, dengan sikap masyarakat yg tidak semuanya pragmatis.
Selain bangga, ada juga kesedihan yang dirasakan, pertama, tingkat golput yang masih tinggi, berdasarkan survei LSI dari hitung cepat, angka golput pada pemilu 2014 berkisar pada angka 34,02%, lebih tinggi dari pada pemilu legislatif 2009 yang 29,01%. Walaupun ada beberapa sebab tingginya golput, seperti masalah administratif, masalah tekhnis, ataupun masalah politis. Hal ini menunjukkan beberapa hal, yaitu dari sisi KPU yang belum bisa menjamin dan menjangkau hak memilih masyarakat dalam DPT atau DPK, sehingga banyak yg tidak terdaftar dan tidak bisa memilih ketika hari H. Dari sisi warga, ternyata masih banyak yang belum mempercayai sepenuhnya institusi politik untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dengan sengaja untuk tidak datang ke TPS atau mencoblosi semua gambar partai. Bagaimana sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik, jika penyelenggaranya kurang maksimal dan partisipasi warga terhadap pemilu sangat rendah, 1/3 golput, itu sangat mengkhawatirkan keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Seharusnya tingginya angka golput, harus menjadi cambuk bagi caleg terpilih dan partai politik, untuk menjalankan fungsi mereka dengan penuh amanat dan bertanggungjawab.
Kedua, penulis merasa sedih dengan cara kampanye dan pendekatan peserta pemilu yang kurang memberikan pendidikan politik kepada warga. Kita bisa melihat bagaimana para partai dan caleg ketika kampanye akbar di beberapa daerah, cenderung mengedepankan atau menonjolkan sesi hiburan, seperti dangdut yang seronok, atau yang selainnya kepada massa. Seharusnya mereka mengutamakan penjabaran visi misi dan membuka tanya jawab kepada khalayak agar terjadi interaksi ketika kampanye. Bagaimana partai dan caleg hanya ramai turun mendekati warga, dengan alasan untuk “menjaring aspirasi” hanya ketika menjelang pemilu saja. Lantas selama ini kalian kemana saja ketika masyarkat memiliki keluhan terhadap masalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi mereka??? Sehingga jangan menyalahkan masyarakat, ketika mereka menuntut pemberian uang atau barang kepada caleg2 yang datang ke mereka.
Seandainya saja, partai-partai menjalankan fungsi pendidikan politik ke warga, caleg dan wakil rakyat incumbent senantiasa turun ke masyarakat, maka rakyat akan semakin dewasa dalam berpolitik. Ide-ide dari rakyat akan senantiasa mengalir ke wakilnya, sehingga wakilnya bisa memperjuangkan ke DPR. Degngan begitu interaksi pemikiran, interaksi evaluasi kebutuhan dan kelemahan program masyarakat akan senantiasa terjadi dan sehingga akan terus mengalami perbaikan di tingkat kebijakan dan implementasi ke bawah. Semoga saja kondisi ini akan terjadi di negara kita.
Ok lah, sekarang pileg telah selesai dengan hasil berdasarkan quick count 2014 versi LSI untuk 10 besar perolehan suara tertinggi: 1.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP): 19,53%; 2.Partai Golongan Karya (Golkar): 15,43% ; 3.Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): 11,76% ; 4.Partai Demokrat: 10,32% ; 5.Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 9,40% ; 6.Partai Amanat Nasional (PAN): 7,38% ; 7.Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 6,91% ; 8.Partai Keadilan sejahtera (PKS): 6,21% ; 9.Partai Nasional Demokrat (NasDem): 6,01% ;  10.Partai Hanura: 5,31%. Hal ini menunjukkan bagaimana rakyat tidak mempercayai incumbent (penguasa sebelumnya/demokrat), dengan lebih memberi kesempatan kepada PDI-P, Gerindra, Golkar untuk mengatur bangsa Indonesia 5 tahun kedepan.
Sebenarnya, apapun hasil pemilu, siapapun yang menang, entah itu partai nasionalis, partai Islam, atau partai sekuler. Hanya 1 harapan penulis sebagai rakyat Indonesia, yang mungkin memiliki harapan yang sama dengan rakya Indonesia lainya, bagaimana caleg, partai dan pemimpin yang terpilih bisa meninggalkan kepentingan keluarga, kepentingan golongan / partai, demi kepentingan bersama bangsa Indonesia yaitu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, menjamin hak-hak dasar masyarakat Indonesia untuk beragama, berserikat, berpendapat, memperoleh pendidikan dan perawatan kesehatan yg layak, serta hak untuk hidup layak.
Apalah arti parpol bisa menang 20%, 30%, bahkan 51%, jika ketika mereka berkuasa hanya untuk memajukan kepentingan golongan dan keluarganya saja. Jika masih banyak rakyat yang tidak memperoleh pendidikan, dan kesehatan, jika rakyat harus bersusah payah untuk mencari makan dan hidup di negaranya sendiri. Karena pada dasarnya politik itu adalah alat dan sistem untuk menciptakan kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara, bukan alat atau sistem untuk mengeruk sumber daya negara demi kepentingan pribadi dan golongan.
Semoga pemilu 2014 ini mejadi titik balik bangsa Indonesia untuk mengalami progres dan kemajuan menuju sebuah bangsa yang kuat dan sejahtera serta menjadi bangsa yang aman bagi semua golongan untuk hidup bermasyarakat. Kepada para caleg yang terpilih nantinya, sebagai rakyat, saya mendoakan agar kalian semua menjadi orang yang amanat, karena apa yang kalian lakukan di parlemen, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jadikanlah jabatan politik tersebut, sebagai lahan bagi kalian untuk berkompetisi memberikan amalan yang terbaik dengan memajukan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar